Kajian Naskah Bahasa Arab


 

Urgensi Proses Pendidikan



Penerapan pembiasaan pendidikan memiliki urgensitas yang banyak sekali, baik untuk individu, hak anak-anak maupun siapa saja yang mendapatkan amanah untuk mendidik mereka. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab yang telah dibebankan kepada setiap orang yang berkepentingan untuk mendidiknya.


كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رعيته وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ ألا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ


"Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinan. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggung jawabnya. Seorang pembantu rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya." (HR Muslim)


Sebagaimana, pendidikan memiliki faidah yang banyak. Maka, kembali lagi kemanfaatan tersebut kepada individu masing-masing, keluarga dan masyarakat. 


Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:


Pertama: Pentingnya Pendidikan bagi Seseorang


Sesungguhnya pendidikan memiliki peran yang penting dalam kehidupan seseorang, yakni : istijabah (menjalankan kewajiban), ibadah (pengabdian) kepada Allah Ta’ala, kebahagiaan, ketenangan jiwa,  penghargaan, izzah (kemandirian), dan kemuliaan individu itu sendiri baik masa hidupnya maupun setelah meninggal.


  1. Ketaatan kepada Allah Ta’ala


Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menciptakan manusia dengan sia-sia. Dia menciptakan manusia agar mampu memenuhi tugas yang telah diamanatkan kepadanya. Yakni menegakkan agama Allah Ta’ala. Dia berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat, 51: 56)

Di antara cara pengabdian manusia kepadaNya adalah mujahadah nafs (memerangi hawa nafsu) dalam rangka ketaatan kepada Allah Tabarak Wa Ta’ala. Sehingga ia mendidik nafsu agar menuntunnya melaksanakan perintah-perintah Allah dan iltizam (konsisten) padanya yakni meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh syara’. Mujahadah tarbawiyah nafsiah (pendidikan mujahadah jiwa) ini adalah seagung-agungnya (transendental) jalan mengendalikan diri sehingga dikatakan bahwa mujahadah: 

الجهاد الاكبر

".. jihad paling besar (berat).” (Al-Hadis)


Dalam mendidik manusia dirinya, bermujahadah dengan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, belajar ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, menuntunnya meraih keridaanNya, ibadah dan taat kepada Allah Ta’ala. Nah, dari sini, tarbiah tersebut menjadi hal yang penting (urgen) bagi individu itu sendiri, karena dengannya akan menjadi wasihah lahirnya ketaatan kepada Allah Ta’ala.


  1. Kenyamanan Jiwa Seseorang


Pendidikan yang berdiri di atas kurikulum islami memiliki keuntungan dan manfaat yang luar biasa bagi perkembangan jiwa. Karena setiap individu yang dibesarkan sesuai aqidah islam akan merasakan ketenangan batin yang tidak dirasakan orang lain. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepadaNya yang umumnya untuk makrifatullah (jauh mendekatkan diri), kembali kepadaNYa, mencintaiNya dan ikhlas. Sehingga hanya dengan berdzikir hati dan perasaan mereka menjadi tenang.

Pendidikan jiwa dengan dasar keimanan akan melahirkan ketenangan batin. Karena ia yakin bahwa apa yang terjadi tidak akan luput darinya, dan apapun yang meleset darinya tidak akan menimpanya. Ia yakin perkara yang disukai terkadang menjadi sesuatu yang tidak diharapkan, yang tidak disukai pun kadang menjadi sesuatu yang diharapkannya. Tidak ada yang terselip dalam dirinya kecuali ridha dengan ketetapan dan ketentuanNya. Allah Ta’ala berfirman:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ


Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. QS. Al-Baqarah,2: 261)

Ibnu Qayyim pernah rahimahullah menjelaskan, 

“Pada ayat ini mengandung hikmah, rahasia dan kebaikan yang banyak bagi seorang hamba. Karena ia akan meyakini bahwa sesuatu yang dibencinya terkadang hadir menjadi sesuatu yang disukainya, demikian juga yang dicintainya kadang menjadi sesuatu yang ia benci. Ia akan waspada kalau-kalau bahaya mengintainya akan datang pada momen baik, demikian juga tidak putus asa terkadang kebaikan datang juga pada momen bahaya. Karena hal tersebut di luar jangkauan pengetahuannya. Allah Ta’ala semata yang mengetahui yang tidak diketahui oleh hambaNya. Beliau menyarankan seseorang agar mempersiapkan diri menghadapi hal tersebut di atas  dengan beberapa perkara: Diantaranya bahwa tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat baginya daripada menjalankan perintah meskipun terasa berat pada awalnya. Namun, sebenarnya akhir dari semuanya adalah kebaikan, kemudahan, keindahan dan kebahagiaan. Meskipun dirinya tidak suka maka itu pun (hakikatnya) kebaikan dan bermanfaat baginya. Demikian pula tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya kepadanya daripada melanggar larangan, meskipun hatinya condong untuk menyimpang. Maka, akhir semuanya itu adalah nestapa, kesedihan, keburukan dan malapetaka.” 

Nah, demikianlah setiap urusan yang diiringi oleh ridha dengan qadha dan takdir Allah, akan melahirkan kemuliaan yang tinggi sebagai akibat dari jiwa yang tenang.

Dari samping itu, pendidikan islami akan menghapus keraguan tentu dengan manhajnya dari kekeliruan/ kesalahan dan perilaku hina yang akan memisahkan  (mengusik) antara seseorang dan perasaan jiwa yang tenang.


  1. Penghargaan (prestise) dan Dicintai oleh Orang Lain


Di antara aspek urgensinya pendidikan islami bagi individu adalah bahwa hal tersebut akan membawa sikap simpati (dicintai) dan prestise (penghargaan) dari masyarakat. Karena orang yang berpendidikan, dia telah konsisten dengan nilai-nilai normatif yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Maka, dia memungkinkan mendapatkan bagiannya di dunia dan penghargaan yang baik. Karena ia telah menjaga (menghidupkan) hatinya dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan RasulNya Saw. “Hati yang hidup, niscaya melahirkan rasa malu yang akan mencegahnya dari hal-hal tercela. Dan hati yang mati yang tidak hidup, akan melahirkan sifat keras (kasar). Jika demikian adanya, maka tidak akan ada dalam hatinya kehidupan yang melahirkan rasa malu.” 

Dan barangsiapa yang hatinya hidup, maka ia dididik dalam keutamaan akhlak, kebaikan-kebaikannya ia petik dan nikmati dan keburukan-keburukannya dipalingkan dan dibenci. Orang yang seperti itu tidak diragukan ia akan dicintai dan mendapat penilaian baik dari masyarakat. Karenanya fitrah manusia akan menjauh dari hal-hal buruk dan terbiasa dengan hal-hal baik.

Sebagian Ulama Salaf berkat, “Sesungguhnya kebaikan benar-benar memiliki cahaya dalam hati, kekuatan dalam badan, penerang dalam wajah, keluasan dalam rizki, dicintai oleh makhluk. Dan sesungguhnya keburukan, benar-benar kegelapan dalam hati, hitam yang menutupi wajah, beban pada tangan, kurang dalam rizki serta kebencian dalam hati manusia.”

Dan dari sisi lain bahwa sesungguhnya dicintai oleh masyarakat akan membawa kesempatan meraih kecintaan Allah Ta’ala baginya. Yang merupakan hasil pendidikan jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan memperbanyak ketaatan. Dimana setiap kali seorang hamba bertambah ibadah sunnahnya, maka bertambah pula dekatnya kepada Allah Ta’ala. Sehingga ia mendapatkan keistimewaan-keistimewaan, Nabi Saw pernah menyebutkan dalam sebuh hadis yang diriwayatkan dari Rabb-nya ‘azza wa jalla. Yaitu : (Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: 

من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ ، وما تقرَّب إليَّ عبدي بشيءٍ أحبَّ إليَّ ممَّا افترضتُ عليه ، وما يزالُ عبدي يتقرَّبُ إليَّ بالنَّوافلِ حتَّى أُحبَّه ، فإذا أحببتُه : كنتُ سمعَه الَّذي يسمَعُ به ، وبصرَه الَّذي يُبصِرُ به ، ويدَه الَّتي يبطِشُ بها ، ورِجلَه الَّتي يمشي بها ، وإن سألني لأُعطينَّه ، ولئن استعاذني لأُعيذنَّه ، وما تردَّدتُ عن شيءٍ أنا فاعلُه ترَدُّدي عن نفسِ المؤمنِ ، يكرهُ الموتَ وأنا أكرهُ مُساءتَه


Barangsiapa yang  memusuhi wali- Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah Hamba- Ku mendekat kepada- Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal- hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba- Ku tidak henti- hentinya mendekat kepada- Ku dengan Ibadah- Ibadah Sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.  Jika ia meminta kepada- Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepada- Ku,  Aku pasti melindunginya. Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu- raguan- Ku tentang pencabutan nyawa orang Mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya. (H.R. Bukhari).

Al-Khattabi berkata: “Maknanya berarti taufik Allah Ta’ala kepada hambaNya untuk berbagai amaliah yang secara langsung dengan anggota tubuhnya dan memudahkan dicintai pada anggota tubuhnya dengan menjaga panca indra padanya, melindunginya dari terjadinya hal-hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala dari mendengar karena bergurau/lupa mendengarkannya. dan dari melihat sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta’ala dengan matanya. Dan dari sapunya pada hal yang tidak halal baginya dengan tangannya, dan berjalan menuju kebatilan dengan kakinya.”

Tidak diragukan, bahwa orang yang mendapatkan taufik ini, maka mendapatkan dan melahirkan rasa cinta ia mendapatkan bagian kebahagiaan dunia akhirat. Dan diantara agar turun kepadaNya rasa cinta dalam hati orang-orang mukmin dengan perintah Allah Ta’ala. Dimana rasulullah Saw bersabda,

إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ قَالَ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ قَالَ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَيَقُولُ إِنِّي أُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضْهُ قَالَ فَيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضُوهُ قَالَ فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي الْأَرْضِ

"Sesungguhnya apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai seseorang, maka Dia akan memanggil malaikat Jibril alaihi salam seraya berseru: 'Hai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai si fulan. Oleh karena itu, cintailah ia! ' Rasulullah bersabda: 'Akhirnya orang tersebut pun dicintai Jibril. Setelah itu, Jibril berseru di atas langit; 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai si fulan. Oleh karena itu, cintailah ia! ' Kemudian para penghuni langit pun mulai mencintainya pula.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Setelah itu para penghuni bumi juga mencintainya.' Sebaliknya, apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala membenci seseorang, maka Dia akan memanggil malaikat Jibril dan berseru kepadanya: 'Sesungguhnya Aku membenci si fulan. Oleh karena itu, bencilah ia.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Lalu malaikat Jibril berseru di langit; 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala membenci si fulan. Oleh karena bencilah ia!" Kemudian para penghuni langit membencinya. Setelah itu para penghuni dan penduduk bumi juga membencinya.”

Nah, seperti itulah seorang hamba memetik hikmah dari moment pendidikannya secara pribadi dengan patuh taat kepada Allah Ta’ala azza wa jalla untuk diterima oleh penghuni langit dan bumi serta dicintai oleh masyarakat.



Kedua: Pentingnya pendidikan bagi keluarga


Sesungguhnya pendidikan yang baik penting ditanamkan juga bagi dan untuk keluarga.

Kenapa? Karena sesungguhnya pada pelaksanaan tanggung jawab orang tua mendidik keluarga tersebut terselip buah keridhaan Rabbnya dan menunaikan hal yang dipikul, menjaga dari berbagai ancaman yang membahayakan keluarganya serta kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat bagi keduanya. Dan ini dapat diperinci sebagai berikut:

  1. wujud ketaatan karena Allah Ta’ala

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menugaskan kepada kita agar anak-anak dan keluarga jauh dari api neraka. Bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, 

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ

“...Maka jika kalian tidak mampu mengerjakannya dan (memang) kalian tidak akan mampu mengerjakannya, takutlah dengan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan bebatuan, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah/2:24)

Berkata Ali bin Abi Thalib ra.,

علموهم وأدبوهم 


“Ajari dan didiklah mereka (keluargamu).” 

Maka, jika kedua orang tua mendidik anak mereka dengan baik sesuai dengan manhaj Al-kitab dan Al-Sunnah, berarti kedua orang tua melaksanakan dan menunaikan ketaatan kepada Allah Ta’ala.


  1. Memenuhi tuntutan kewajiban

Sesungguhnya, pendidikan merupakan tanggung jawab yang dipikul oleh keluarga, pada awalnya. Dan lembaga-lembaga masyarakat selanjutnya dan setiap orang yang yang menjadi bagian pendidikan sesuai jabatan, kemampuan dan legalitasnya.

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR. Bukhari)

Tanggung jawab yang dipikul tersebut mencakup berbagai hal yang menjadi kebutuhan hidupnya sebagai individu (primer). Masalah akidah, ibadah, akhlak, pergaulan dan sebagainya. Sehingga keluarga menjadi tonggak yang utuh dan sempurna dalam memikul tanggung jawab yang terkait dengan kebebasan yang tidak akan diraih (dicapai) kecuali dengan menghadirkan haknya. Dan hak tersebut tidak akan terwujud melainkan dengan keterlibatan anggota keluarga seutuhnya satu sama lain bahu membahu dengan bimbingan, pemeliharaan, nasihat, penegakan disiplin (jika menyimpang), memperbaiki hal yang keliru, dan mengikuti aturan. Sehingga perlu konsistensi dan perbaikan, atau mengerahkan segala kemampuan.

  1. Pemeliharaan keluarga dari potensi kenakalan anak


Sesungguhnya pendidikan anak yang sesuai dengan manhaj islam, mengandung upaya pemeliharaan diri mereka dari potensi terjadinya konflik anak-anak yang sering kali muncul kelalaian orang tua atau muncul akibat pendidikan yang jauh dari manhaj islami. Padahal Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk hati-hati dalam mengawasi mereka. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ


Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-Taghabun, 64:14).

Dalam hal ini, ada peringatan dari Allah Ta’ala bagi orang-orang mukmin, agar mereka tidak lalai dalam mendidik istri dan anak-anaknya. Bisa jadi sebagian dari mereka kelak menjadi musuh bagi kalian. Sedangkan musuh menginginkan keburukan padamu. Untuk itulah, maka tugasmu adalah berhati-hati dari sifat tersebut. Sementara nafsu cenderung memproteksi istri dan anak-anaknya. Allah Ta’ala menasihati hambaNya agar tidak terjebak oleh kecintaan kepada mereka sehingga menuntun untuk condong pada obsesi atau keinginan istri-istri dan anak-anaknya yang dilarang secara syar'i. Dan mendorong mereka untuk melaksanakan perintah-perintahNya dan mendahulukan meraih keridaanNya. 


Saat hadir larangan untuk taat kepada istri-istri dan anak-anak, dalam hal yang berbahaya pada seseorang. Perlu berhati-hati dalam hal ini, karena seringkali muncul kesalahpahaman dan mereka menanggung akibatnya. Maka Allah Ta’ala perintah manusia untuk berhati-hati, melakukan pendekatan dan memberi maaf kepada mereka (saat keliru). Karena perbuatan itu mengandung kebaikan-kebaikan, sesuatu yang tidak terbatas. 


Di antara metode-metode peringatan tersebut adalah mendidik mereka sesuai manhaj islami, sampai menjadi solusi (pertolongan) bagi mereka untuk taat kepada Allah Ta’ala. Kami memiliki beberapa pelajaran dan nasihat dari orang terdahulu yang salih. Sebagaimana dikisahkan Umar Bin Abdul Aziz ra. tumbuh besar dengan baik, berkat nasihat, bimbingan, dan qudwah yang baik pula. Sampai dikisahkan salah satu anak-anaknya membeli cincin seharga 1 dirham. Lalu Umar mengirim surat kepadanya: “Ada berita yang sampai kepadaku, kalau kamu telah membeli sebuah cincin seharga 1 dirham. Juallah barang itu, lalu kau sedekahkan 1000 orang miskin yang lapar!. Lalu, buatlah sebuah cincin dari besi shiny dan tulis di atasnya, “Allah menyayangi orang yang mengetahui kadar dirinya.“


Inilah pendidikan yang benar, yang mengandung perintah dan larangan, serta menjelaskan sebab-sebabnya, sehingga menjadi contoh dan berdampak baik. Namun, apakah akibat dari pendidikan ini?


Umar bin Abdul Aziz suatu hari duduk bersama orang-orang. Ketika hari tengah hari dan dia lelah, dia berkata kepada orang-orang seolah-olah kamu sampai aku pergi. Lalu dia masuk untuk beristirahat selama satu jam. Kemudian, putranya datang dan bertanya kepadanya. Mereka berkata: “Dia masuk, lalu minta izin kepadanya dan dizinkan.”

Ketika dia masuk, dia berkata: “Wahai Amirul Mukmin! Apa yang membuatmu masuk?”

Dia berkata: “Aku hanya ingin istirahat sebentar.”

Dia berkata: “Atau apakah Anda menjamin kematian untuk datang kepada Anda, sedangkan warga Anda di depan pintumu menunggu Anda, sementara Anda disembunyikan di dalam? Umar bangkit dari dan menuju orang-orang.

Itulah nilai pendidikan yang berakar, yang layak diapresiasi dengan izin Allah Ta’ala membangun kasih sayang bukan permusuhan.


  1. Penyebab Kebahagiaan Kedua Orang tua

Pendidikan yang baik akan membuahkan hasil yang dipetik oleh kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat. Akhir dari pendidikan islam tersebut adalah anak-anak menjaga (memelihara) hak-hak orang tuanya. Dan orang tua juga mencukupi kebutuhan mereka tak ternilai/terbatas, sesuai dengan perintah Allah Ta’ala,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.(QS. Al-Isra, / 23-24).

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “... janganlah kamu mengatakan ucapan yang buruk kepada mereka sampaikan ungkapan ‘ah’ saja, yang merupakan kata yang buruk yang paling sepele sekalipun. Tidak boleh ada perlakuan buruk kepada keduanya. Inilah etika baik yang harus dijaga dalam pergaulan antara orang tua dengan anak-anaknya di dunia. Seperti anak-anak mendahulukan apa-apa yang disukai oleh kedua orang tuanya sebelum anak-anaknya. Terbukti, pernah suatu hari datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw., meminta izin untuk berjihad, Beliau bertanya: “Orang tuamu masih ada (hidup)?” Jawabnya: “Ya,” Sabda belia, “Keduanya punya hak yang harus dipenuhi, lalu berjihadlah!”. Dalam hadis ini, bahwa berbakti kepada kedua orang tua kadang lebih utama daripada berjihad.

Itulah beberapa pandangan islam yang mendorong agar mengutamakan akhlak dan adab kepada kedua orang tua dan berbuat baik kepadanya. Jika kedua orang tua mendidik anak dengan pendidikan yang baik berkarakter dan berbagai pendidikan lain pun diperhatikan, maka mereka akan memetik hasilnya kelak. Dengan memiliki anak-anak yang patuh kepada keduanya bukan dalam rangka maksiat, mencukupi pemeliharaan dan berinfak dan berbuat baik kepadanya. Maka, kedua orang tua akan hidup bahagia merasakannya. 

Adapun, jika pendidikan buruk yang diterapkan kepada mereka, maka lahirlah anak-anak yang tidak baik. Hal tersebut berseberangan dengan harapan-harapan kedua orang tuanya. Seperti durhaka, tidak ada rasa hormat (memuliakan) mereka, tidak mampu melayani mereka dengan makruf, tidak bisa berbuat baik kepadanya dan tidak ingin meraih keridhoan keduanya.

Sungguh benar, jika ada salah seorang anak yang berkata kepada ayahnya:

“Ayah, engkau mengajariku berbuat durhaka waktu aku kecil, maka aku pun durhaka kepadamu masa tuanya. Engkau sia-siakan aku waktu kecil, maka akupun sia-siakan engkau di masa tua.”

  1. Sumber Pahala bagi Orang tua di Akhirat

Berbagai kebaikan dapat dipetik oleh kedua orang tua sepeninggal mereka dari anak-anaknya, jika mereka salih. Maka orang tua akan mendapatkan pahala seperti yang didapatkan anak-anak mereka, tanpa dikurangi sedikitpun dari pahalanya. Meskipun kedua orang tua telah meninggal dunia, namun amal kebaikannya akan tetap mengalir terus mengisi timbangan amal kebaikannya di sana, sebab kesungguhan mereka dalam mendidiknya dan sebab anak-anaknya yang salih, yang mendo’akan keduanya.

Rasulullah Saw., pernah bersabda,

“Apabila manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yakni shadaqah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak yang shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Beliau bersabda lagi tentang pahala mendidik anak,

“Barangsiapa yang diuji mendidik anak-anaknya, lalu ia didik anaknya dengan sebaik-baiknya, maka jadilah ia pelindung dari api neraka.” (HR. Muslim)

Dan beliau Saw., bersabda,

“Barangsiapa yang membesarkan dua anak perempuan sampai ia baligh, maka pada hari kiamat ia dan aku (nabi) akan datang dan beliau menyatukan jemarinya.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud membesarkan disini adalah memikul biaya dan mendidiknya.

Ini merupakan ajakan kepada orang tua untuk mendidik anak-anak mereka di atas aqidah  yang benar dan akhlak yang terpuji, sehingga mereka akan memetik buah kebaikannya di dunia dan di akhirat.

 

  1. Pendidikan Anak yang Pertama akan Memudahkan Pendidikan Anak-anaknya di Lainnya.

Pendidikan anak yang awal akan memudahkan proses pendidikan anak-anak lainnya. Karena Karena yang pertama menjadi contoh ikutan bagi mereka. Sehingga anak kecil akan mengikuti saudaranya yang besar, dengan gambar lebih cepat daripada pindahnya dari ayah dan ibunya. Karena proses perpindahan tersebut terbentuk dengan gerakan dan mencontoh. Dan kondisi yang mendiktekan (talqin) dengan lisan harus sesuai dengan yang didikte. Sesuai dengan aspek kesesuaian dan perkembangannya, frekuensi berinteraksi dengan lamanya masa pembiasaan.


  1. Mengurangi Beban Ekonomi

Pendidikan yang utama (baik) akan membentuk insan sederhana dan tegar dalam makan, minum, berpakaian dan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal ini akan membantu keuangan ayah lebih hemat dan mengatasi terjadinya perbuatan berlebih-lebihan. Barangsiapa yang mendidik diri  dan keluarganya atas dasar hidup sederhana dan seimbang, sejalan dengan firmanNya Ta’ala untuk memuji dan mensifati ibadurrahman.

وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan, : 67)

Maka perilaku islami tersebut akan mengisi jiwanya agar tidak memberatkan orang tuanya dengan berbagai permintaan yang memberatkan dan sia-sia. Sehingga, dengan hal tersebut ia berkontribusi dalam mengurangi beban biaya, tanpa berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhan yang bervariasi dan kebutuhan yang banyak. Itu merupakan bagian kesimpulan yang mencerminkan pentingnya pendidikan islam bagi keluarga. 



Ketiga: Urgensi Pendidikan bagi Masyarakat

Jika pendidikan anak telah ditunaikan dengan baik nan sempurna dari hal-hal yang tercela. Maka rumah-rumah semakin penuh dengan kebaikan dan kemuliaan, perbuatan yang baik dan dengan hal terkait pendidikan tersebut berkontribusi dalam membina masyarakat meraih kesempatan menyebarkan kebaikan dan mencampakkan hal yang buruk (hina). Dan dari sana akan nampak berbagai efek di berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Menyebutkan sebagian darinya mungkin akan lebih baik, diantaranya adalah:


  1. Ketentraman Hidup Bermasyarakat

Pendidikan yang dibangun dengan dasar-dasar agama islam (mabadi islamiah), maka akan melahirkan ketentraman masyarakat “dengan menghilangkan penyimpangan, keburukan dan permusuhan antara individu dengan kelompok-kelompok,” sehingga seorang tetangga merasa aman dari yang lain, penduduk dari warganya dan masyarakat dari anggotanya. 

Islam memberikan perhatian yang serius pada aspek ini. Sehingga berusaha mengarahkan umat agar berakhlak mulia, yang melahirkan keamanan dan kenyamanan dengan sentuhan pendidikan yang bervariasi. Namun, di dalamnya mengandung tantangan bagi umat. Nabi Saw bersabda,

“Seorang muslim adalah orang yang orang-orang muslim selamat dari ucapan dan tangannya.” (HR. Bukhari).

Maksudnya bahwa muslim yang paling baik adalah muslim yang menjaga (menunaikan) hak-hak Allah Ta’ala, dan hak-hak umat (saudaranya). Dan barangsiapa yang menunaikan hak-hak saudaranya, tentu dia telah menciptakan rasa aman juga bagi dirinya sendiri. Dan diantara yang paling penting dari itu semua adalah seorang tetangga yang oleh Nabi Saw jelaskan “Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ada yang bertanya, “Siapa Ya Rasulullah?” Jawabnya: Seseorang yang membuat tetangganya gelisah dari kejahatannya.” (HR. Al-Bukhari).

Nas-nas Al-Quran dan Sunnah Nabawiyyah yang menciptakan rasa aman pada masyarakat dan memelihara dari berbagai keperluan dan kebutuhannya dengan sangat banyak, kondisi ini tidak bisa diraih semuanya (Akan tetapi, perhatikan ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengakibatkan terjadinya hukuman dan hudud, juga yang menganjurkan untuk melindungi hak-hak orang lain dan dengan jalan seperti itu: Al-Furqan : 68-70, Al-Maidah : 38 dan 90).


  1. Kerukunan Hidup Bermasyarakat (Kohesi)

Nas-nas Al-Quran dan Sunnah Nabawiyyah yang menciptakan rasa aman pada masyarakat dan memelihara dari berbagai keperluan dan kebutuhannya dengan sangat banyak, kondisi ini tidak bisa diraih semuanya (Akan tetapi, perhatikan ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengakibatkan terjadinya hukuman dan hudud, juga yang menganjurkan untuk melindungi hak-hak orang lain dan dengan jalan seperti itu: Al-Furqan : 68-70, Al-Maidah : 38 dan 90).

  1. Terwujudnya Pertumbuhan Ekonomi

  1. Pendidikan Moral

  2. Pendidikan Terapan Kreatif

  3. Menyusut dan Hilangnya Kendala 

Komentar

Postingan Populer