Filsafat Imu
A.
Deskripsi Mata Kuliah
Dalam mata kuliah ini akan dikaji konsep dasar tentang
filsafat ilmu, kedudukan, fokus, cakupan, tujuan
dan fungsinya. Berikutnya dibahas pula tentang
karakteristik filsafat, ilmu dan pendidikan serta jalinan fungsional
antara ilmu, filsafat dan agama. Selanjutnya dibahas mengenal sistematika, permasalahan, keragaman pendekatan dan paradigma (pola pikir) dalam pengkajian dan pengembangan ilmu dan dimensi
ontologis, epistemologis dan aksiologis. Kemudian dikaji mengenai makna, implikasi dan implementasi filsafat
ilmu sebagai landasan
dalam rangka pengembangan keilmuan dan kependidikan dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kualitatif, kuantitatif, maupun perpaduan keduanya.
B.
Tujuan Mata Kuliah
Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan peserta
pendidikan memiliki kemampuan: 1) Memahami konsep
dasar filsafat ilmu, kedudukan, fokus,
cakupan, tujuan dan fungsinya
untuk dapat dijadikan landasan pemikiran, perencanaan dan pengembangan ilmu dan pendidikan secara
akademik dan profesional; 2) Mampu memahami
filsafat ilmu untuk mengembangkan diri sebagai ilmuwan maupun sebagai
pendidik dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan
kualitatif, kuantitatif, maupun perpaduan keduanya dalam konsentrasi bidang studi yang menjadi minat utamanya;
3) Mampu menerapkan filsafat ilmu sebagai
dasar pemikiran, perencanaan dan pengembangan
khususnya landasan keilmuan dan landasan pendidikan yang
dijiwai nilai-nilai ajaran agama dan nilai- nilai luhur
budaya masyarakat Indonesia yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa
dan negara serta umat manusia dalam pemahaman dan perkembangan
lingkungan dinamika global.
C. Pokok-pokok Perkuliahan
I. PENGERTIAN FILSAFAT
1. Arti istilah dan rumusan filsafat
2. Objek studi dan metode filsafat
3. Bidang kajian filsafat: Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi
4. Klasifikasi filsafat
5. Cabang-cabang filsafat
6. Jalinan ilmu,
filsafat dan agama.
II. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU
1. Definisi filsafat ilmu
2. Cakupan dan permasalahan filsafat ilmu
3. Berbagai pendekatan filsafat ilmu
4. Sejarah dan Perkembangan filsafat ilmu
5. Fungsi dan arah filsafat ilmu
III. SUBSTANSI FILSAFAT
ILMU
1. Kenyataan atau fakta
2. Kebenaran
3. Konfirmasi
4. Logika Inferensi
5. Telaah konstruksi
teori
IV. DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU
1. Dimensi Ontologis
2. Dimensi Epistemologis
3. Dimensi Aksiologis
V. PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN TEORI
1. Pengembangan teori
dan alternatif metodologinya.
2. Etika dalam Pengembangan Ilmu dan Teknologi
3. Jalinan fungsional Agama, Filsafat dan Ilmu.
4. Implikasi dan Implementasi Filsafat Ilmu dalam
pengembangan Keilmuan dan Kependidikan.
Bab I
Pengertian Filsafat
A.
Arti Istilah
dan Rumusan Filsafat
Filsafat dalam bahasa
Inggris, yaitu philosophy, adapun
istilah filsafat berasal
dari bahasa Yunani, philosophia,
yang terdiri atas dua kata: philos (cinta)
atau philein (persahabatan, tertarik
kepada) dan shopia atau
shopos (hikmah, kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman praktis inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti
cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates
sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta
kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan
oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud,
yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala
yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis
adalah manusia yang memiliki kesadaran
diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan
bersifat spiritual.
Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri
mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka
menjadikan persepsi manusia
sebagai ukuran realitas
dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan
mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena
kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian
dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah
filosof tidak pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu
pengetahuan yang dimiliki manusia.
Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis
mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti:
fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta
dan matematika; (3) ilmu tentang
ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup:
(1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Secara umum filsafat
berarti upaya manusia
untuk memahami segala
sesuatu secara sistematis,
radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan
sebuah proses bukan sebuah produk.
Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif,
sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk
mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan
tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan
demikian filsafat akan terus berubah
hingga satu titik
tertentu (Takwin, 2001).
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (definisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun
beberapa pengertian pokok tentang filsafat
menurut kalangan filosof adalah:
1) Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2) Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
3) Upaya untuk menentukan batsa-batas danjangkauan pengetahuan sumber daya hakikatnya, keabsahahannya dan nialinya.
4) Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5) Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu seseorang melihat apa yang dikatakannya dan
untuk menyatakan apa yang dilihatnya.
Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan
yang bersifat untuk mencapai
kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefinisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043
SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya.
Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur
dan keinginan untuk
mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan
segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi
pokok penyelidikannya. Sedangkan Immanuel
Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat
persoalan:
1.
Apakah yang dapat kita ketahui? Jawabannya termasuk dalam bidang
metafisika.
2. Apakah yang seharusnya kita kerjakan? Jawabannya termasuk dalam bidang
etika.
3. Sampai di manakah harapan
kita? Jawabannya termasuk
pada bidang agama.
4.
Apakah yang dinamakan manusia itu? Jawabannya termasuk pada bidang
antropologi.
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat
yakni:
1) Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal
ilmu hanya dari segi pandang
ilmu itu sendiri.
Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya
dengan moralitas, serta ingin yakin apakah
ilmu ini akan membawa kebahagiaan dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling
hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak
tahu apa-apa.
2) Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
3) Spekulatif: dalam menyusun lingkaran
dan menentukan titik awal sebuah
lingkaran yang sekaligus
menjadi titik akhirnya
dibutuhkan sifat spekulatif baik sisi proses,
analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis
atau tidak.
Sir Isacc Newton,
seorang ilmuwan terkenal
dianggap memiliki ketiga karakteristik
di atas. Ada banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang dilakukannya. Dalam
pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya
percaya pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian
terdahulu seperti logika aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak,
cahaya, dan struktur kosmos. “Saya
tidak mendefinisikan ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana yang diketahui banyak orang” ujar
Newton. Bagi Newton tak ada keparipurnaan, yang
ada hanya pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah selesai.
“kutekuni sebuah subjek secara terus
menerus dan kutunggu
sampai cahaya fajar
pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai betul-betul terang”.
B.
Objek Studi dan Metode Filsafat
1. Objek Studi Filsafat
Menurut Susanto (2011), isi Filsafat ditentukan oleh
objek yang dipikirkan. Objek sendiri
adalah sesuatu yang menjadi bahan dari kajian dari suatu penelaahan/penelitian tentang
pengetahuan.Objek yang diselidiki oleh filosof meliputi
objek material dan objek formal.
Objek material dari filsafat adalah
suatu kajian penelaahan atau pembentukan pengetahuan itu,yaitu segala sesuatu yang
ada dan mungkin ada,mencakup segala hal,baik hal-hal
yang kongkret/nyata maupun
hal-hal yang abstrak
atau tak tampak.
Mengenai objek material
filsafat ini banyak
kesamaan dengan objek
material sains. Hanya
terdapat dua perbedaan, yaitu pertama sains menyelidiki objek material yang empiris, sementara
filsafat ilmu menyelidiki bagian objek yang abstrak. Kedua, ada objek material filsafat yang memang
tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari kiamat, yaitu objek material yang selamanya tidak empiris.
Jadi, dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa objek
filsafat meliputi beberapa hal, atau
dengan kata lain objek filsafat ini tak terbatas. Begitu luasnya kajian atau objek filsafat ini menyangkut
hal-hal yang fisik atau nampak maupun psikis
atau yang tidak nampak. Ini meliputi alam semesta, semua keberadaan, masalah hidup dan masalah manusia.
Sedangkan hal-hal yang psikis (non fisik) adalah masalah
Tuhan, kepercayaan,
norma-norma, nilai, keyakinan, dsb.
Sedangkan objek formal, yaitu sifat penelitian, penyelidikan yang mendalam.Kata mendalam berarti ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Menurut Lasiyo dan Yuwono (1985: 6), objek formal adalah sudut pandang yang menyeluruh secara umum sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materialnya. Jadi objek formal filsafat ini membahas objek materialnya sampai ke hakikat/esensi dari yang dibahasnya.
Dewasa ini, corak dan ragam ilmu pengetahuan sangatlah banyak. Corak dan ragam yang berbeda-beda ini timbul karena
adanya perbedaan cara pandang dalam memahami
objek ilmu pengetahuan. objek ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau
pembentukan pengetahuan. Inti pembahasan atau
pokok persoalan dan sasaran material dalam ilmu pengetahuan sering disebut sebagai
objek material ilmu pengetahuan. Sedangkan
cara pandang atau pendekatan-pendekatan
terhadap objek material ilmu pengetahuan biasa disebut sebagai objek formal.
Dari berbeda-bedanya objek ilmu pengetahuan ini, timbullah ragam dan corak ilmu pengetahuan. Dengan
mengetahui objek material dan objek formal
ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui bidang keilmuan apakah yang dimungkinkan dapat memberikan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan dan permasalahan yang kita miliki.
2.
Metode Filsafat
Metode berasal dari kata Yunani Methodos, sumbangan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah),
dan kata benda hodos (jalan,
perjalanan, cara, arah). Kata Methodos sendiri berarti penelitian,
jalan ilmiah, hipotesa ilmiah. Sehingga
dapat disebutkan bahwa metode adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. Maksud metode adalah agar
kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah,
agar mencapai hasil optimal (Bakker,
1986).
Metode dan filsafat
mempunyai hubungan erat, karena secara
tidak langsung filsafat membutuhkan metode untuk mempermudah dalam berfilsafat. Untuk mempelajari
filsafat ada tiga macam metode: (1) metode sistematis, (2) metode historis,
dan (3) metode kritis.
Menggunakan metode sistematis, berarti seseorang menghadapi dan mempelajari karya
filsafat. Misalnya mula-mula ia menghadapi teori pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang
filsafat, setelah itu ia mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang lain. Kemudian ia mempelajari teori nilai
atau filsafat tatkala membahas
setiap cabang atau cabang itu, aliran-aliran akan terbahas. Dengan belajar filsafat melalui metode ini
perhatiannya terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh
atau pun periode.
Adapun metode historis digunakan apabila seseorang
mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarah,
terutama sejarah pemikiran. Metode ini dapat
dilakukan dengan membicarakan tokoh demi tokoh menurut kedudukannya
dalam sejarah, misalnya
dimulai dari membicarakan filsafat Thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, lantas dalam teori
pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai. Lantas setelah
mengetahui Thales dari mulai pemikiranya, dilanjutkan lagi misalnya
Heraklitus, Pramendes, Sokrates,
Demokritus, Plato, dan
tokoh-tokoh lainnya (Suryabrata, 1987).
Metode kritis digunakan oleh orang yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Pengguna metode ini haruslah sedikit-banyak telah memiliki pengetahuan filsafat, langkah pertama dengan memahami isi ajaran, kemudian mengajukan kritiknya. Kritik itu dapat menggunakan pendapatnya sendiri atau pun menggunakan filsafat/pemikiran lain (Tafsir, 1990).
C.
Bidang Kajian Filsafat: Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi
Louis O. Katsoff dalam bukunya
”Elements of Philosophy” menyatakan bahwa kegiatan filsafat merupakan perenungan, yaitu suatu
jenis pemikiran yang meliputi kegiatan
meragukan segala sesuatu,
mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan
yang lainnya, menanyakan ”mengapa”’ mencari jawaban yang
lebih baik ketimbang jawaban pada pandangan
mata. Filsafat sebagai
perenungan mengusahakan kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia
sebanyak mungkin, mengajukan kritik
dan menilai pengetahuan. Berdasarkan tujuan tersebut, terdapat tiga bidang kajian filsafat yaitu ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.
Ontologi adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud)
atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi
terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut Stephen Little John (1996), ontologi adalah mengerjakan
terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan
kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial
ontologi memiliki keluasan
eksistensi kemanusiaan.
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode,
dan batasan pengetahuan manusia
yang bersangkutan dengan
kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana
pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Metode adalah tata cara dari suatu kegiatan
berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sekaligus sistematis dan logis.
Aksiologis adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan
nilai seperti etika, estetika. Little
John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis
yang membahas value (nilai-nilai).
D.
Klasifikasi Filsafat
Di seluruh dunia,
banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi
filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat
biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis
dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”,
“Filsafat Timur”, dan “Filsafat Islam”.
1.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh: jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat).
Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni:
(a)
bagian filsafat yang mengkaji tentang ”ada” atau being (ontologi), (b) bidang filsafat
yang mengkaji pengetahuan (epistemologi dalam arti luas), (c) bidang filsafat
yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan
manusia (aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:
1) Wittgenstein
mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris,
tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik
menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ”metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris,
sehingga kriteria yang berlaku
dalam ilmu eksata
juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang
menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan
pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu
tersendiri. Yang menjadi pokok
perhatian filsafat analitik
ialah analisa logika
bahasa sehari-hari, maupun
dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.
2) Imanuel
Kant mempunyai aliran atau filsafat ”kritik” yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi.
Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya.
Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara
pengalaman inderawi yang aposteriori dan keaktifan akal,
faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti.
Kant terkenal karena
tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya
dapat ketahui. Ding an sich, hakikat
kenyataan yang dapat diketahui. Manusia
hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni
ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya
menurut kategori sebab dan akibat,
dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio
praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan
manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini
dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan peranan
perasaan dan fantasi,
jembatan antara yang umum
dan khusus.
3) Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dIlahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil- dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res cogitans”.
2.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, nusantara,
dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas
filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat
dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat
barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat
’an sich’ masih
lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu
Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.
Pemikiran filsafat timur sering dianggap
sebagai pemikiran yang tidak rasional,
tidak sistematis, dan tidak kritis.
Hal ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama
dibanding filsafat. Pemikiran
timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina, sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut (Takwin, 2001).
Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih
ke filsafat timur, misalnya Fritjop
Capra, seorang ahli fisika yang mendalami taoisme,
untuk membangun kembali
bangunan ilmu pengetahuan yang sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir,
2005). Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene Descartes dan William
Ockham.
3.
Filsafat Islam
Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat
yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi
ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan
ahli waris tradisi
Filsafat Barat (Yunani).
Terdapat dua pendapat
mengenai sumbangan peradaban
Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa
orang Eropa belajar filsafat dari
filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354–430 M),
yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius
Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat
orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi
dan Al-Farabi.
Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam (Haerudin, 2003).
Majid Fakhri (2006) cenderung menganggap filsafat Islam sebagai mata rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam. Dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1) Peripatetik (memutar
atau berkeliling) merujuk
kebiasaan Aristoteles yang selalu
berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau
epistimologis adalah menggunakan logika
formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio.
Tokoh-tokohnya yang terkenal
yakni: Al Kindi
(w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196),
dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
2) Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan
oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul
(w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif
(irfani). Menurutnya dunia ini terdiri
dari cahaya dan kegelapan. Baginya
Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya
di atas cahaya.
3) Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf
bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan
rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik
bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah
Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4) Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi
Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim
Yahya Qawami yang dikenal dengan nama
Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof
yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.
Dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan.
Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata
jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadis juga menyatakan mencari
ilmu itu wajib bagi setiap
muslim. Dalam pandangan
Allamah Faydh Kasyani dalam
bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat,
dan mengantarkannya pada
pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin
Islam, sifat Tuhan, hari akhirat,
dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa Ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak Ilahi) akan mendorong manusia untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.
E.
Cabang-cabang Filsafat
Filsafat itu selalu bersifat "filsafat
tentang" sesuatu yang tertentu karena filsafat
bertanya tentang seluruh kenyataan. Contohnya filsafat tentang manusia, filsafat alam, filsafat kebudayaan,
filsafat seni, filsafat agama, filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan dan
seterusnya. Seluruh jenis filsafat tersebut
dapat dikembalikan lagi kepada empat bidang induk,
seperti dalam skema ini.
Tabel 1.1. Skema Kajian Filsafat
Epistemologi |
: |
pengetahuan tentang
pengetahuan |
Logika |
: |
menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya berpikir sehat |
Kritik ilmu-ilmu |
: |
menyelidiki titik pangkal, metode dan objek dari ilmu-ilmu |
Ontologi |
: |
pengetahuan tentang “semua pengada sejauh merekaada” |
Teologi metafisik |
: |
(disebut juga teodise atau filsafat ketuhanan) berbicaratentang pertanyaan apakah Tuhan ada dan nama-nama tentang Ilahi |
Antropologi |
: |
berbicara tentang
manusia |
Kosmologi |
: |
(disebut juga filsafat alam) berbicara tentang alam, kosmos |
Etika |
: |
(disebut juga filsafat moral) berbicara tentang tindakan manusia |
Estetika |
: |
(disebut juga filsafat seni) menyelidiki mengapa sesuatu dialami sebagai indah |
Sejarah filsafat |
: |
mengajarkan apa jawaban pemikir-pemikir sepanjang zaman |
Tidak semua ahli filsafat setuju dengan pembagian seperti yang diuraikan di atas. Ada filsuf yang menyangkal kemungkinan ontologi atau seluruh metafisika. Namun pembagian ini adalah skema yang paling klasik dan paling umum diterima.
F.
Jalinan Ilmu, Filsafat dan Agama
Sebelum membahas bagaimana
jalinan antara ilmu, filsafat dan agama, alangkah baiknya apabila kita mencoba
kembali mengungkap definisi dari ilmu, filsafat
dan agama tersebut walaupun sebenarnya sulit sekali mengungkap sebuah definisi karena biasanya dipengaruhi oleh
perbedaan sudut pandang orang yang akan membuat
definisi tersebut. Demikian yang diungkapkan Juhaya (2005)
ketika akan memberikan definisi-definisi tentang ilmu, filsafat dan agama.
Dalam bukunya yang berjudul Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Juhaya membuat definisi tentang ilmu, filsafat
dan agama. Menurutnya yang dimaksud dengan ilmu adalah sesuatu
yang melekat pada manusia di mana ia dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia
ketahui. Jadi secara umum sebenarnya ilmu
itu berarti tahu/pengetahuan. Seseorang yang banyak ilmunya bisa dikatakan sebagai seorang ilmuwan, ulama, ahli
pengetahuan dan sebagainya. Pada dasarnya ilmu/pengetahuan
mempunyai tiga kriteria, yaitu: (a) adanya suatu sistem gagasan dalam
pikiran; (b) persesuaian antara gagasan itu dengan benda-benda sebenarnya; dan (c) adanya keyakinan tentang persesuaian itu.
Filsafat mempunyai arti yang diambil dari kata philosophia, kata majemuk yang terdiri dari kata Philos yang
artinya cinta atau suka dan shopia artinya
bijaksana. Dengan demikian
kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut philosopher atau failasuf. Secara terminologis, filsafat
mempunyai arti yang bermacam-macam diantaranya yang diungkapkan Al- Farabi (wafat 950 M) seorang
filsuf Muslim mengatakan bahwa filsafat adalah
ilmu pengetahuan tentang
alam maujud dan bertujuan
menyelidiki hakikat sebenarnya.
Agama memiliki arti yang berasal dari bahasa sansakerta yaitu a-gama, a=tidak; gama=kacau; agama berarti tidak kacau. Dalam arti luas agama mempunyai
makna bahwa manusia
yang beragama atau menjalankan aturan
agama maka hidupnya
tidak akan kacau balau.
Lalu bagaimana sebetulnya jalinan antara ilmu, filsafat
dan agama? Marilah kita kaji dimana
titik temu antara ilmu dengan filsafat dan titik temu antara agama dan filsafat. Ada beberapa hal dimana
filsafat dan ilmu pengetahuan dapat saling bertemu.
Dalam beberapa abad terakhir, filsafat telah mengembangkan kerja sama yang baik dengan ilmu pengetahuan.
Filsafat dan ilmu pengetahuan kedua-duanya
menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi
fakta- fakta dunia dan kehidupan.
Keduanya menunjukkan sikap kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak, untuk mengetahui hakikat
kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang teratur.
Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat, ilmu pengetahuan juga melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangakan ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Sementara filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Sebagai contoh tentang konsep evolusi mendorong kita untuk meninjau kembali pemikiran kita hampir dalam segala bidang.
Kesimpulannya kontribusi lebih jauh yang diberikan
filsafat terhadap ilmu pengetahuan
adalah kritik tentang asumsi, postulat ilmu dan analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai. Ilmu dan filsafat
kedua-duanya memberikan penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari
objeknya masing-masing. Banyak filsuf yang
mendapat pendidikan tentang metode ilmiah dan mereka saling memupuk perhatian
dalam beberapa disiplin ilmu.
Dalam perjalanannya, filsafat
dengan ilmu juga terkadang memiliki
pertentangan pada kecondongan atau titik penekanan, bukan pada penekanan
yang mutlak. Penekanan itu dapat
dilihat dari perbedaan-perbedaan berikut
ini, yaitu:
· Ilmu-ilmu
tertentu menyelidiki bidang-bidang
yang terbatas, sedangkan filsafat mencoba
melayani seluruh manusia dan lebih bersifat inklusif tidak ekslusif;
· Ilmu lebih analitik dan lebih deskriptif, sedangkan filsafat lebih sintetik dan sinoptik;
· Ilmu menganalisis seluruh unsur yang menjadi bagian-bagiannya; sedangkan filsafat berusaha untuk mengembangkan benda-benda
dalam sintesa yang interpretatif;
· Jika
ilmu berusaha untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi, sedangkan filsafat
lebih mementingkan personalitas, nilai-nilai dan juga bidang pengalaman;
· Ilmu lebih menekankan kebenaran
yang bersifat logis dan objektif,
sedangkan filsafat bersifat
radikal dan subjektif;
Adapun titik temu antara agama dan filsafat adalah baik
agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai
kesamaan, keduanya memiliki
tujuan yang sama,
yakni mencapai kebenaran
yang sejati. Agama
yang dimaksud di sini adalah
agama Samawi, yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan rasul-Nya.
Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam
agama ada hal-hal
yang penting, misalnya
Tuhan, kebijakan, baik dan buruk,
surga dan neraka, dan
lain-lain. Hal-hal tersebut diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada-atau paling
tidak-mungkin ada, karena objek penyelidikan
filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin
ada.
Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, melainkan
penyelidikan sendiri, hasil pikiran belaka.
Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu.
Lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi
dasarnya amat berlainan. Tegasnya akan kita lihat perbedaan-perbedaan
antara agama dan filsafat sebagai
berikut:
· Filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan agama berdasarkan wahyu Ilahi, oleh karena itu agama sering juga disebut kepercayaan alasannya karena yang diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai;
· Dalam filsafat
untuk mendapatkan kebenaran
hakiki, manusia harus mencarinya
sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin, sedangkan
dalam agama untuk mendapatkan kebenaran
hakiki itu manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan harus menerima (baca:
iman atau percaya)
hal-hal yang diwahyukan Tuhan.
·
Agama beralatkan kepercayaan, sedangkan
filsafat berdasarkan penelitian.
Demikianlah antara ilmu, filsafat dan agama sebenarnya
mempunyai jalinan dan saling
berhubungan satu sama lain yang memiliki kesamaan yaitu mencari hakikat
kebenaran, meski ada beberapa
perbedaan terutama yang berkaitan dengan
objek forma, sumber,
cara pandang, hasil serta alat ukurnya.
Titik temu dari ketiga disiplin itu adalah bahwa ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman inderawi kemudian filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakikat kebenaran dan agama menentukan arah dalam mendapatkan kebenaran yang hakiki itu berlandaskan pada keyakinan dan keimanan.
BAB II PENGERTIAN
FILSAFAT ILMU
A.
Definisi Filsafat
Ilmu
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat
kita bisamenjumpai pandangan-pandangan tentang
apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji
kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dan intelektual (Bagir, 2005).
Menurut kamus Webster New
World Dictionary, kata ilmu atau science berasal dari kata latin, scire yang artinya
mengetahui. Secara bahasa
science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil
dalam arti pengetahuan (knowledge) yang
dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna
sehingga berarti pengetahuan sistematis
yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji.
Sedangkan dalam bahasa
Arab, ilmu berasal dari kata ilm, alima yang artinya
mengetahui.
Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi
pada bidang-bidang empirisme–positiviesme sedangkan
ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti
matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).
Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas
filsafat pengetahuan adalah
menunjukkan bagaimana ”pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya
The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang
merebut pantai untuk pendaratan
pasukan infanteri. Pasukan infanteri dianalagikan sebagai pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu. Sehingga
dapat dikatakan filsafat
membantu dan memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.
Semua
ilmu, baik ilmu alam maupun sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah
filsafat alam (natural philosophy)
dan nama asal ekonomi adalah filsafat
moral (moral philosophy). Issac
Newton (1642- 1627) pencetus banyak
hukum fisika dikatakan sebagai Philosophiae
Naturalis Principia Mathematica (1686)
dan Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi
penulis The Wealth Of Nation (1776) disebut sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisik dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika.
Filsafat ilmu adalah
bagian dari filsafat
pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan
oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on=being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang
apa).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah
dasar yang menjiwai dinamika proses
kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah.
Adapun yang tergolong ilmiah ialah
yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi
asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif
akademis. Dengan demikian
teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau
validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong pra-ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi
yang secara sadar diperoleh,
baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar
kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Tabel 2.1. Ragam
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan |
Objek |
Paradigma |
Metode |
Kriteria |
Sains |
Empiris |
Sains |
Metode ilmiah |
Rasional empiris |
Filsafat |
Abstrak rasional |
Rasional |
Metode rasional |
Rasional |
Mistis |
Abstrak suprarasional |
Mistis |
Latihan percaya |
Rasa, iman,
logis, kadang empiris |
Sumber: Tafsir
(2006). Filsafat Ilmu
Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh
secara sadar, aktif, sistematis,
jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri
dengan verifikasi atau diuji kebenaran
(validitas) ilmiahnya. Sedangkan
pengetahuan yang pra-ilmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun
bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang
berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak
diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung
menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
B.
Obyek Material
dan Obyek Formal
Filsafat Ilmu
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah apa yang
dipelajari dan dikupas
sebagai bahan (materi)
pembicaraan. Objek material adalah objek yang di jadikan
sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek material
filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) pengetahuan
yang telah di susun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan
kebenarannya secara umum (Adib, 2010: 53).
Obyek formal adalah
cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas
sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten
dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret
manusia dalam dunianya.
Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat
ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi
proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam
Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala
“manusia tahu”. Tugas filsafat ini
adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab
pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “keraguan”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal
pengetahuan dan ke mana arah pengetahuan. Pada
gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan
berfikir itu (sejauh
dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan
filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan
gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala
pengetahuan dicermati dengan
teliti. Kekhususan itu terletak dalam
cara kerja atau metode yang terdapat
dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.
C.
Cakupan dan Permasalahan Filsafat
Ilmu
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada
hal-hal yang berbeda
dalam pengalaman kita?
Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu
manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi
lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji
kebenarannya secara empiris.
Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan
kesahihan metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata
seorang, cuma sepotong dari sekian
permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusia pun, ilmu hanya
berwenang dalam menentukan benar atau salahnya
suatu pernyataan. Tentang
baik dan buruk,
semua berpaling kepada
sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian
estetik.
Ruang penjelajahan keilmuan
kemudian kita ‘kapling-kapling’ dalam berbagai displin
keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkembangan kuatitatif displin keilmuan. Kalau pada fase permualaan hanya terdapat ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu
sosial maka sekarang
ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan.
1.
Ruang Lingkup
Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu sampai tahun sembilan puluhan telah
berkembang begitu pesat sehingga
menjadi suatu bidang pengetahuan yang amat luas dan begitu mendalam. Lingkupan filsafat ilmu berkembang
begitu pesat sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan
yang amat luas dan mendalam. Lingkupan filsafat ilmu sebagaimana telah dibahas oleh para pakar filsafat
kontemporer, dapat dikemukakan secara ringkas seperti di bawah ini.
Menurut Peter Angeles
(1981: 250), filsafat
ilmu mempunyai empat bidang
konsentrasi utama: (1) Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan metode Ilmu, berikut analisis,
perluasan dan penyusunannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat;
(2) Telaah dan pembenaran mengenai
proses penalaran dalam ilmu berikut
struktur perlambangnya; (3)
Telaah mengenai kaitan diantara berbagai ilmu; (4) Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah
bagi hal-hal yang berkaitan dengan pencerapan dan pemahaman manusia
terhadap realitas, hubungan
logika dan matematika dengan realitas, entitas
teoritis, sumber dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan.
A. Cornelius Benjamin (Runes, ed., 1975: 284-285) membagi pokok soal filsafat ilmu dalam tiga bidang: (1) Telaah mengenai metode ilmu, lambing ilmiah, dan struktur logis dari sistem perlambang ilmiah. Telaah ini banyak menyangkut logika dan teori pengetahuan, dan teori umum tentang tanda; (2) Penjelasan mengenai konsep dasar, praanggapan, dan pangkal pendirian ilmu, berikut landasan-landasan dasar empiris, rasional, atau pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya. Segi ini dalam banyak hal berkaitan dengan metafisika, karena mencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai dunia kenyataan, keseberagaman alam, dan rasionalitas dari proses ilmiah; (3) Aneka telaah mengenai saling kait diantara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta seperti misalnya idealisme, materialisme, monisme dan pluralisme.
Arthur Danto (1967: 296-297) menyatakan, “lingkupan filsafat ilmu cukup
luas mencakup pada kutub yang satu, yaitu,persoalan-persoalan konsep yang demikian erat bertalian dengan ilmu
itu sendiri, sehingga pemecahannya dapat seketika
dipandang sebagai suatu sumbangan kepada ilmu daripada
kepada filsafat, dan pada kutub yang lain persoalan-persoalan begitu umum dengan suatu pertalian
filasafati sehingga pemecahannya akan sebanyak merupakan
suatu sumbangan kepada
metafisika atau epistimologi seperti kepada filsafat
ilmu yang sesungguhnya. Begitu pula, rentangan
masalah- masalah yang
diselidiki oleh filsuf-filsuf ilmu dapat demikian sempit sehingga menyangkut keterangan tentang sesuatu
konsep tunggal yang dianggap penting dalam suatu cabang ilmu tunggal, dan begitu umum sehingga bersangkutan dengan ciri-ciri struktural yang tetap bagi semua cabang
ilmu yang diperlakukan sebagai suatu himpunan.
Edward Madden (19968: 31) berpendapat bahwa apapun
lingkup filsafat umum, tiga bidang tentu merupakan bahan perbincangannya yaitu: (1) Probabilitas; (2) Induksi; (3) Hipotesis.
Ernest Nagel (1974: 14) menyimpulkan bahwa filsafat ilmu mencakup tiga bidang luas: (1) Pola logis yang ditunjukkan oleh penjelasan dalam
ilmu.
(2) Pembentukan konsep
ilmiah. (3) Pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah.
Menurut P. H. Nidditch (1971: 2) lingkupan
filsafat ilmu luas dan beraneka
ragam. Isinya dapat digambarkan dengan mendaftar serangkaian pembagian dwi bidang yang saling melengkapi: (1) Logika ilmu yang berlawanan dengan epistimologi Ilmu. (2) Filsafat
ilmu-ilmu kealaman yang berlawanan dengan filsafat ilmu-ilmu
kemanusiaan. (3) Filsafat
ilmu yang berlawanan dengan telaah masalah-masalah
filsafati dari suatu ilmu khusus. (4) Filsafat
ilmu yang berlawanan dengan sejarah ilmu. Selain itu, telaah mengenai hubungan
ilmu dengan agama juga termasuk filsafat ilmu.
Israel Scheffler (1969: 3) berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Lingkupannya mencakup tiga bidang:
(1) Menelaah hubungan-
hubungan antara faktor-faktor kemasyarakatan dan ide-ide ilmiah. (2)
Berusaha melukiskan asal mula dan struktur alam semesta menurut
teori-teori yang terbaik
dan penemuan-penemuan dalam kosmologi. (3) Menyelidiki metode umum, bentuk
logis, cara penyimpulan, dan konsep dasar dari ilmu-ilmu.
J.J.C.
Smart (1968: 5) menganggap filsafat
ilmu mempunyai dua komponen utama: (1) Bahan analitis dan metodologis tentang
ilmu. (2) Penggunaan ilmu untuk membantu
pemecahan problem-problem filsafati.
Menurut Marx Wartofsky
(1963: vii), rentangan
luas dari soal-soal
interdispliner dalam filsafat
ilmu meliputi: (1) Perenungan mengenai
konsep dasar, struktur formal, dan metodologi Ilmu; (2) Persoalan-persoalan
ontologi dan epistemologi yang khas bersifat
filasafati dengan pembahasan yang memadukan peralatan
analitis dari logika modern dan model konseptual dari penyelidikan ilmiah.
Akhirnya untuk memberikan gambaran yang menyeluruh
mengenai ruang lingkup dan topik persoalan
dari filsafat ilmu dewasa ini, berikut dikutipkan rincian lengkap yang dikemukakan dalam Encyclopedia Britannica, 15 th Edition (1982: 728-729).
1) Sifat dasar dan lingkupan
filsafat ilmu dan hubungannya dengan cabang- cabang ilmu lain; aneka ragam soal dan
metoda-metoda hampiran terhadap filsafat ilmu.
2) Perkembangan Historis
dari filsafat Ilmu
i. Masa-masa purba dan abad pertengahan: pandangan-pandangan yang silih ganti berbeda dari aliran-aliran kaum Stoic dan Epicorus serta penganut-penganut Plato dan
Aristoteles.
ii. Abad XVII: perbincangan mengenai metodologi ilmiah;
hampiran induktif dari Bacon dan hampiran deduktif
dari Descartes.
iii. Abad XVIII: Kaum empiris, rasionalis, dan tafsiran penganut
Kant mengenai fisika Newton.
iv. Sejak awal abad XIX samapai Perang Dunia I: pengaruh dari
keyakinan Kant dalam rasionalitas khas perpaduan klasik
antara Euclid dan Newton
v. Perbincangan abad XX: tanggapan
terhadap relativitas, mekanika
kuantum, dan perubahan-perubahan mendalam lainnya dalam ilmu-ilmu kealaman; Positivisme Logis lawan Neo-Kantianisme
3) Unsur-Unsur Usaha Ilmiah
i. Unsur-unsur empiris,
konseptual, dan formal serta tafsiran
teoritisnya; aneka ragam pandangan mengenai
pentingnya secara relatif
dari pengamatan, teori dan perumusan
matematis.
ii. Prosedur empiris
dari ilmu
(a)
Pengukuran; teori dan problem
filasafati mengenai penentuan
hubungan-hubungan kuantitatif
(b)
Perancangan percobaan: penerapan logika induktif
dan asas-asas teoritis lainnya pada prosedur
praktis.
iii. Penggolongan: problem
taksonomi
(a) Struktur
formal ilmu: problem menyusun suatu analisis formal secara murni dari penyimpulan ilmiah; perbedaan antara dalil ilmiah dan generalisasi empiris.
(b)
Perubahan
konseptual dan perkembangan ilmu: problem kesejarahan mengenai organisasi teoritis dari ilmu yang berubah.
4) Gerakan-gerakan pemikiran
ilmiah: prosedur dasar dari perkembangan intelektual dari ilmu
i. Penemuan
ilmiah; kedudukan terujung dari formalisme yang menekankan unsur-unsur rasional dari penemuan ilmiah,
dan dari irrasionalisme yang menekankan peranan ilham, perkiraan,
dan kebetulan
ii. Pembuktian keabsahan
dan pembenaran dari konsep dan teori baru: pandangan bahwa peramalan merupakan
ujian yang menentukan dari keabsahan ilmiah;
pandangan bahwa pertautan, keajegan, dan keseluruhan merupakan persyaratan penting
dari suatu teori ilmiah
iii. Penyatuan teori-teori dan konsep-konsep dari ilmu-ilmu yang terpisah: usaha menyusun suatu sistem aksiomatis bagi semua ilmu kealaman; problem
penyederhanaan untuk mencapai
suatu landasan konseptual yang ajeg bagi dua atau lebih ilmu
5) Kedudukan filsafat
dari teori ilmiah
i. Kedudukan proposisi
ilmiah dan konsep dari entitas:
pandangan- pandangan aneka
ragam mengenai kedudukan epistemologi dari proporsi ilmiah dan mengenai
kedudukan dari konsep ilmiah
ii. Hubungan antara analisis
filsafat dan praktek
ilmiah: penerapan dari ajaran-ajaran
filasafati dan hampiran-hampiran yang berlainan pada ilmu- ilmu yang berbeda
6) Pentingnya pengetahuan ilmiah bagi bidang-bidang lain dari pengalaman dan soal manusia:
kepentingan sosial dari ilmu dan sikap ilmiah;
keterbatasan usaha manusia
7)
Hubungan antara ilmu dan pengetahuan humaniora: persoalan tentang perbedaan
antara metodologi ilmiah dan metodologi
humaniora.
Berdasarkan perkembangan filsafat ilmu sampai dewasa
ini, ahli filsafat sejarah John Loose (2001: 1-3) menyimpulkan bahwa filsafat ilmu dapat digolongkan menjadi empat konsepsi:
(1) Filsafat ilmu yang berusaha
menyusun pandangan-pandangan dunia yang sesuai atau berdasarkan
teori-teori ilmiah yang penting; (2)
Filsafat ilmu yang berusaha memaparkan praanggapan dan kecendrungan para ilmuwan (misalnya praanggapan bahwa alam
semesta mempunyai keteraturan); (3) Filsafat
Ilmu sebagai suatu cabang
pengetahuan yang menganalisis dan menerangkan konsep dan teori dari ilmu; (4) Filsafat
ilmu sebagai pengetahuan kritis derajat kedua yang menelaah
ilmu sebagai sasarannya.
Dalam tingkat konsepsi Losee pengetahuan manusia mengenal tiga tingkatan: Tingkat
0 : Fakta-fakta
Tingkat 1 : Penjelasan mengenai fakta-fakta dan ini dijelaskan oleh ilmu
Tingkat
2 : Analisis mengenai prosedur dan logika dari penjelasan ilmiah. Ini merupakan
bidang filsafat ilmu. Filsafat ilmu sebagai pemikiran
tingkat 2 melakukan analisis-analisis terhadap ilmu
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1) Ciri-ciri apakah yang membedakan penyelidikan ilmiah dari ragam-ragam penyelidikan lainnya?
2) Prosedur apakah yang harus
ditempuh para ilmuwan
dalam menyelidiki alam?
3) Persyaratan apakah yang harus dipenuhi agar suatu penjelasan ilmiah betul?
4) Apakah kedudukan
kognitif dari dalil dan asas ilmu?
Selain pembagian filsafat
ilmu menurut Losee dalam empat konsepsi tersebut
di atas, beberapa filsuf mempunyai konsepsi dikotomi yang membedakan
filsafat ilmu dalam dua bagian.
Dua pembagian paling
umum dikemukakan oleh antara lain Arthur Pap (1967: vii). Menurutnya untuk menghindarkan kekacauan, filsafat ilmu perlu dibedakan menjadi: (1) Filsafat
ilmu-seumumnya. Filsafat ilmu ini menelaah
konsep-konsep dan metode-metode yang terdapat dalam semua ilmu, misalnya pengertian penjelasan, generalisasi
induktif, dan kebenaran; (2) Filsafat ilmu-ilmu khusus, seperti misalnya
filsafat fisika atau filsafat psikologi. Masing-masing filsafat
ilmu khusus itu menangani konsep-konsep yang khusus berlaku dalam lingkupannya masing-masing seperti
misalnya unsur-unsur waktu dan gaya dalam fisika,
realitas obyektif dalam mekanika kuantum, variabel sela dalam psikologi, dan penjelasan
teologis dalam biologi.
Mirip dengan dikotomi dari Pap itu ialah dwi pembagian
Michael Scriven (1968: 84) dalam
substantive philosophy of science dan structural
philosophy of science. Filsafat
ilmu substansif berkaitan dengan isi masing-masing ilmu khusus, sedang
filsafat ilmu struktural menyangkut topik-topik seperti
penyimpulan ilmiah, penggolongan, penjelasan, peramalan, pengukuran, probabilitas, dan determinisme.
2.
Problem-Problem Dalam Filsafat Ilmu
Filsafat sebagai suatu ilmu khusus merupakan salah satu
cabang dari ruang lingkup filsafat
ilmu seumumnya. Pada kelanjutannya filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat. Dengan
demikian, pembahasan mengenai lingkupan filsafat
sesuatu ilmu khusus tidak terlepas dari kaitan dengan persoalan-persoalan dan filsafat ilmu dan problem-problem
filsafat pada umumnya. Clarence Irving Lewis
(1956) juga mengemukakan adanya dua gugus persoalan yakni, problem- problem
reflektif dalam suatu ilmu khusus yang dapat dikatakan membentuk
filsafat dari ilmu tersebut dan problem-problem mengenai asas permulaan
dan ukuran-ukuran yang berlaku umum
bagi semua ilmu maupun aktivitas kehidupan seumumnya.
Problem menurut definisi
A. Cornelius Benjamin
ialah ”sesuatu situasi
praktis atau teoritis yang untuk itu tidak ada jawaban lazim atau
otomatis yang memadai, dan yang oleh
sebab itu memerlukan proses-proses refleksi. (Runes, ed., 1975: 55).
Banyak sekali pendapat para ahli filsafat ilmu mengenai
kelompok atau perincian problem
apa saja yang diperbincangkan dalam filsafat ilmu. Untuk medapat
gambaran yang lebih jelas
perlulah kiranya dikutipkan pendapat-pendapat berikut:
A. Cornelius Benjamin (1977: 542-547) menggolong-golongkan segenap persoalan filsafat ilmu dalam tiga bidang: (1) Bidang pertama meliputi semua persoalan yang bertalian secara langsung atau tidak langsung dengan suatu pertimbangan mengenai metode ilmu; (2) Persoalan-persoalan dalam bidang kesdua dalam filsafat ilmu agak kurang terumuskan baik dari problem-problem tentang metode. Dalam suatu makna, banyak darinya merupakan pula persoalan-persoalan metode. Tetapi, penunjukannya secara langsung lebih kepada pokok soal daripada kepada prosedur sehingga persoalan-persoalan itu menyangkut apa yang umumnya disebut pertimbangan-pertimbangan metafisis dalam suatu cara bidang terdahulu tidak menyangkutnya. Ini bertalian dengan analisis terhadap konsep-konsep dasar dan praanggapan-praanggapan dari ilmu-ilmu; (3) Bidang ketiga dari filsafat ilmu, terdiri dari aneka ragam kelompok persoalan yang tidak mudah terpengaruh oleh suatu penggolongan sistematis. Kesemua itu dapat secara kasar dilukiskan sebagaimana bersangkut paut dengan implikasi-implikasi yang dipunyai ilmu dalam isi maupun metodenya bagi aspek-aspek lain dari kehidupan kita.
Michael Berry (Bullock
& Stallybrass, 1977: 559-560) mengemukakan dua problem yang
berikut: (1) Bagaimana kuantitas dari rumusan dalam teori- teori ilmiah? (misalnya
suatu ciri dalam genetika atau momentum dalam mekanika Newton)
berkaitan dengan peristiwa-peristiwa dalam dunia alamiah
di luar pikiran kita; (2) Bagaimana dapat dikatakan bahwa teori atau
dalil ilmiah adalah ‘benar’
berdasarkan induksi dari sejumlah persoalan yang terbatas?
Menurut B. Van Fraassen dan H. Margenau
(1968: 25-27) problem-
problem utama dalam filsafat ilmu setelah tahun-tahun enam puluhan
ialah: (1) Metodologi (Hal-hal
yang menonjol yang banyak diperbincangkan adalah mengenai sifat dasar dari penjelasan ilmiah,
dan teori pengukuran). (2) Landasan ilmu-ilmu
(ilmu-ilmu empiris hendaknya
melakukan penelitian mengenai
landasannya dan mencapai
sukses seperti halnya
landasan matematik). (3) Ontologi (Persoalan utama yang diperbincangkan ialah menyangkut konsep-konsep substansi, proses, waktu,
ruang, kausalitas, hubungan
budi dan materi, serta status dari entitas-entitas teoritis).
David
Hull (1974) seorang
ahli filsafat dan biologi ini mengemukakan persoalan yang berikut:
Persoalan menyampingkan yang meliputi jilid-jilid belakangan ini (seri Foundations of Philosophy) ialah apakah
pembagian tradisional dari ilmu-ilmu empiris dalam cabang-cabang pengetahuan yang terpisah seperti
geologi, astronomi dan sosiologi mencerminkan semata-mata perbedaan dalam pokok soal ataukah hasil dari perbedaan
pokok dalam metodologi. Secara singkat, adakah suatu filsafat ilmu tunggal yang
berlaku merata pada semua bidang ilmu kealaman,
atau adakah beberapa filsafat ilmu yang masing-masing cocok dalam ruang lingkupnya sendiri?
(Hull, 1974: 1-2)
Victor Lenzen (1965: 94) mengajukan dua problem: (1) Struktur
Ilmu, yaitu metode dan bentuk
pengetahuan ilmiah; (2) Pentingnya ilmu bagi praktek dan pengetahuan tentang realitas.
J. J. C. Smart (1968: 4-5) mengumpamakan kalau seorang awam bukan filsuf membuka-buka beberapa nomor dari majalah Amerika serikat berjudul Philosophy of Science dan majalah Inggris The British Journal of the Philosophy of science, maka akan dijumpainya dua jenis persoalan: (1) Pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu, misalnya pola-pola perbincangan ilmiah, langkah-langkah pengujian teori ilmiah, sifat dasar dari dalil dan teori dan cara- cara merumuskan konsep ilmiah; (2) Perbincangan filsafati yang mempergunakan ilmu, misalnya bahwa hasil-hasil penyelidikan ilmiah akan menolong para filsuf menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang manusia dan alam semesta.
Joseph Sneed (Butts & Hintikka,
eds., 1977: 245) menyatakan bahwa pembedaan dalam jenis problem-problem filsafat ilmu khusus
(misalnya variabel tersembunyi, determinisme dalam mekanika
quantum) dan jenis problem-problem filsafat
ilmu seumumnya (misalnya
ciri-ciri teori ilmiah)
yang telah umum diterima adalah
menyesatkan. Hal itu dinyatakannya demikian,
“Saya menyarankan bahwa
dualitas diantara problem-problem filsafat ilmu ini adalah menyesatkan. Saya berpendapat bahwa
problem- problem filasafati tentang sifat dasar ilmu seumumnya
tidaklah, dalam suatu cara
yang mendasar, berbeda dengan problem-problem filasafati yang bertalian semata-mata dengan ilmu-ilmu khusus.
Secara khusus tidaklah
ada makna khusus bahwa filsafat
ilmu seumumnya merupakan
sustu usaha normatif,
sedangkan filsafat ilmu-ilmu
khusus tidak.”
Menurut Frederick Supple (1974: 3), problem yang paling pokok atau penting
dalam filsafat ilmu adalah sifat dasar atau struktur teori ilmiah. Alasannya
ialah kerena teori merupakan roda dari pengetahuan ilmiah dan terlibat
dalam hampir semua segi usaha ilmiah. Tanpa teori tidak akan ada problem-problem mengenai
entitas teoritis, istilah
teoritis, pembuktian kebenaran, dan kepentingan kognitif.
Tanpa teori yang perlu diuji
atau diterapkan, rancangan
percobaan tidak ada artinya. Oleh karena itu hanyalah agak sedikit melebih-lebihkan bilamana
dinyatakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu analisis mengenai teori dan peranannya
dalam usaha ilmiah.
D.W. Theobald (1968: 5-6) menyatakan bahwa filsafat ilmu
terdapat dua kategori problem
yaitu: (1) Problem-problem Metodologis yang menyangkut struktur pernyataan ilmiah dan hubungan-hubungan diantara
mereka. Misalnya analisis probabilitas, peranan kesederhanaan dalam ilmu, realitas
dari entitas teoritis, dalil ilmiah, sifat dasar
penjelasan, dan hubungan antara penjelasan dan
peramalan.
2) Problem-problem tentang ilmu yang menyelidiki arti dan implikasi
dari konsep-konsep yang dipakai para ilmuwan. Misalnya
kausalitas, waktu, ruang, dan alam semesta.
Pakar filsafat sejarah W. H. Walsh (1960: 9) menyatakan
bahwa filsafat ilmu mencakup
problem yang timbul
dari metode dan praanggapan dari ilmu serta sifat dasar dan persyaratan dari pengetahuan ilmiah.
Walter Weimer (1979: 2-3) mengemukakan
empat problem filsafat ilmu sebagai berikut:
1) Pencarian terhadap suatu teori penyimpulan rasional (ini berkisar pada penyimpulan induktif, sifat dasarnya dan pembenarannya).
2) Teori
dan ukuran bagi pertumbuhan atau kemajuan ilmiah (Ini berkisar pada pertumbuhan pengetahuan ilmiah, pencarian
dan penjelasannya. Misalnya
dalam menilai bahwa teori Einstein lebih unggul daripada teori
sebelumnya, apakah ukurannya?)
3) Pencarian
terhadap suatu teori tindakan Pragmatis (dalam menentukan salah satu teori di antara teori-teori yang salah, bagaimanakah caranya untuk mengetahui secara pasti teori yang paling terkecil kesalahannya?)
4) Problem mengenai
kejujuran intelektual (Ini menyangkut usaha mencocokkan prilaku
senyatanya, dari para ilmuwan dengan teori yang mereka anut setia).
Philip Wiener (Bronstein, 1957: 226) menyatakan bahwa para pakar filsafat ilmu dewasa ini membahas problem-problem yang menyangkut: (1) Struktur logis atau ciri-ciri
metodologis umum dari ilmu-ilmu; (2) Saling hubungan
antara ilmu-ilmu; (3) Hubungan ilmu-ilmu
yang sedang tumbuh dengan tahapan-tahapan lainnya dari peradaban, yaitu kesusilaan, politik,
seni dan agama.
Problem-problem filsafat secara umum berkisar
pada enam hal pokok, yaitu pengetahuan, keberadaan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan. Berdasarkan keenam sasaran itu, bidang filsafat
dapat secara sistematis dibagi dalam enam cabang pokok, yaitu epistemologi (teoripengetahuan), metafisika (teori mengenai apa yang ada), metodologi (studi tentang metode), logika (teori
penyimpulan), etika (ajaran moralitas) dan estetika (teori keindahan).
Oleh karena filsafat
ilmu merupakan suatu
bagian dari filsafat
keseluruhan, maka problem-problem dalam filsafat ilmu secara sistematis
juga dapat digolongkan menjadi enam kelompok sesuai dengan cabang-cabang pokok filsafat itu. Dengan demikian, seluruh problem dalam
filsafat ilmu dapat ditertibkan menjadi:
1) Problem-problem epistemologis tentang ilmu
2) Problem-problem metafisis tentang ilmu
3) Problem-problem metodologis tentang ilmu
4) Problem-problem logis tentang ilmu
5) Problem-problem etis tentang ilmu
6) Problem-problem estetis tentang ilmu
Menurut R. Harre (Edwards, ed., 1967: 289), problem-problem epitemologis, metafisis, dan logis yang bertalian
dengan ilmu-ilmu mulai memperoleh perhatian
para filsuf dan ilmuwan pada awal abad ke-19.
Problem-problem secara metodologis telah secara tegas disebutkan oleh
D. W. Theobald dimuka sebagai salah satu kategori problem dalam filsafat ilmu. Problem-problem etis yang menyangkut ilmu juga telah disebutkan dimuka oleh Walter Weimer (menyangkut kejujuran intelektual para ilmuwan dan oleh Philip Weiner (menyangkut hubungan ilmu dengan kesusilaan sebagai suatu segi perdaban manusia). Problem-problem estetis yang menyangkut ilmu pada dasawarsa terakhir ini dimulai menjadi topik perbincangan oleh sebagian filsuf dan ilmuwan. Dalam tahun 1980 diadakan sebuah konferensi para ahli yang membahas dimensi estetis dari ilmu.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan ahli di atas, maka
problem filsafat ilmu dibicarakan sejajar
dengan diskusi yang berkaitan dengan landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis. Secara ringkas, permasalahan atau problema filsafat
ilmu mencakup: Pertama, problem
ontologi ilmu; perkembangan dan kebenaran
ilmu sesungguhnya bertumpu
pada landasan ontologis (”apa yang terjadi” = eksistensi suatu entitas). Kedua, problem epistemologi; adalah bahasan
tentang asal muasal,
sifat alami, batasan
(konsep), asumsi, landasan
berfikir, validitas, reliabilitas sampai soal kebenaran
(bagaimana ilmu diturunkan = metoda untuk menghasilkan kebenaran). Ketiga, Problem aksiologi; implikasi
etis, aspek estetis,
pemaparan serta penafsiran mengenai peranan (manfaat)
ilmu dalam peradaban
manusia. Ketiganya digunakan sebagai landasan penelaahan ilmu.
D.
Berbagai Pendekatan Filsafat Ilmu
Untuk mengenalkan berbagai
wawasan ada dua alternatif yang dapat diketengahkan, yaitu: memperkenalkan
aliran-aliran dominan dalarn filsafat ilmu atau
memperkenalkan berbagai pendekatan yang menonjol dalam pengembangan ilmu. Berpegang pada aliran-aliran,
dikhawatirkan fungsi telaah berubah menjadi harus
menjelaskan tuntas tentang sesuatu aliran. Agar studi filsafat ilmu tidak menjadi
historis melainkan sistematis sekaligus fungsional, maka ditempuh dengan
memperkenalkan berbagai
pendekatan yang lazim digunakan dalam pengembangan ilmu. Secara garis besar ada empat
pendekatan dalam filsafat ilmu, yaitu: (1) Rasionalisme,
(2) Empirisme dan Positivisme, (3) Rasionalisme Kritis, dan (4) Kontruktivisme.
Pertama, pandangan aliran rasionalisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan sering dipertautkan dengan
akal. Dalam arti sempit, rasionalisme berarti anggapan
mengenai teori pengetahuan yang menekankan akal dan atau ratio, untuk membentuk pengetahuan. Ini berarti
bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan
sumbangan indera. Mengenai
ilmu diketengahkan oleh rasionalisme
bahwa mustahillah membentuk ilmu hanya berdasarkan fakta, data empiris,
atau pengamatan.
Kedua, pandangan aliran empirisme dan positivisme. Pandangan aliran empirisme memberi kelonggaran pada peranan data kenyataan untuk mengembangkan bahkan mengubah struktur ilmu pengetahuan. Maka empirisme dalam filsafat ilmu dapat lebih mengindahkan keharusan selalu mengubah dan mencocokan sistem ilmu dengan data empiris. Dalam membangun teori, empirisme memiliki siklus yang selalu dimulai dari observasi, kemudian melahirkan hukum empiris, selanjutnya dibangun teori. Aliran empirisme berpendapat bahwa induksi sangat penting, karena jalan pikirannya berangkat dari yang diketahui menuju ke yang tidak diketahui. Karena ilmu pengetahuan selalu ada unsur rasionalismenya, aliran empirisme mengalami kesulitan dalam kaidah-kaidah logika dan matematika. Disinilah aliran positivisme muncul untuk mengatasi masalah tersebut. Data observasi yang diperoleh dapat digunakan untuk ”menghitung”, atau melakukan penjabaran logis dan deduksi, sebagaimana yang terjadi pada aliran rasionalisme. Dengan demikian, empirisme dan positivisme memberikan kelonggaran lebih besar kepada masukan dari empiris dalam membangun ilmu pengetahuan.
Ketiga, pandangan aliran
rasionalisme kritis. Seperti
penjelasan di atas, aliran rasionalisme dan empirisme termasuk
positivisme merupakan dua aliran yang bertentangan.
Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris
dalam pengetahuan ilmiah.
Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses induktif,
harus selalu terbuka
terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut
terbuka upaya penyangkalan atau pembuktian salah
(falsifikasi) yang secara terus menerus
sehingga dapat lebih dikokohkan (corroborated).
Di samping itu, titik suatu ilmu terletak pada melihat
situasi permasalahan. Lewat proses trial and error dan error eliminitian, ilmu yang dikembangkan atas permasalahan tadi, dapat mendekatan kebenaran.
Keempat, pandangan aliran konstruktivisme yang
menekankan pada sifat kontekstual
ilmu pengetahuan, yaitu pentingnya seluruh konteks demi terjadinya suatu sistem ilmiah. Konteks dan ilmu
dapat saling mempengaruhi. Apabila ilmu bertentangan dengan konteks atu pengalaman, maka tidak berarti bahwa ilmu tersebut runtuh. Dalam hal terjadi
pertentangan dan ketidaksesuasian tersebut, diperlukan terjemahan untuk memperbaharui sistem
ilmu tadi.
E.
Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebagai
bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari
sejarah perkembangan filsafat itu sendiri
secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim (1989: iv), bahwa kita mengenal
tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca
modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat
ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua
ribu tahun.
Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
(1) Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya renaisans;
(2) Filsafat Ilmu sejak munculnya rennaisance sampai memasuki era positivisme;
(3) Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas;
(4) Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut diuraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu diungkap juga tentang peran filosof di dunia Islam, Cina, India, dan Jepang, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.
1.
Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat yang dipandang
sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani
yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir- pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales,
Anaximandros dan Anaximenes (Kattsof, 1989: 1). Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri
dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting
dalam sejarah peradaban manusia
karena pada waktu itu terjadi
perubahan pola pikir mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi tidak dianggap fenomena
alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat
diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai
aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul
alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?”
Ia mengatakan asal alam adalah air karena air unsur penting bagi setiap makhluk
hidup, air dapat
berubah menjadi benda gas, seperti
uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.
Sedangkan Heraklitos mempunyai
kesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta
ini adalah bukan bahannya, melainkan
aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah
unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap
sebagai simbol perubahan
itu sendiri.
Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi
ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu.
Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak
terbatas. Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang
filosof muslim Pythagoras belajar geometri dan matematika dari orang- orang mesir (Rowston,
dalam Kartanegara, 2003).
Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”. Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran. Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru.
Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme
kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif
yang bergantung kepada manusia. Periode
setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena
pada zaman ini kajian-kajian yang
muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang
manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus
murid Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea.
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat dan ilmu merupakan
suatu hal yang tidak terpisahkan.
Keduanya termasuk dalam pengertian episteme
yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran
tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an
organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat
dan ilmu tergolong sebagai
pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi
tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis),
poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike
(pengetahuan teoritis).
(Gie, 1997: 1-2).
Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di
atas memberikan gambaran kepada kita
bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat
dilaksanakan bagi aspek- aspek realitas
yang terjangkau pikiran.
Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak
lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian
itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis (Melsen, 1992: 14).
Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi
selanjutnya memandang bahwa
Aristoteleslah sebagai peletak dasar
filsafat ilmu. Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan
filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa
sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa
pemikiran deduktif (logika formal
atau silogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan (Titus, et al., 1984:
257).
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin silogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran
di Eropa sampai dengan munculnya
era renaisans. Silogisme
adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernyataan, yaitu sebagai premis
mayor, premis minor dan konklusi (Russel, 1961:
206).
2.
Filsafat Ilmu Era Renaisans
Memasuki masa renaisans, otoritas Aritoteles tersisihkan
oleh metode dan pandangan baru
terhadap alam yang biasa disebut Copernican
Revolution yang dipelopori oleh
sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei
(1564-1542) dan Issac Newton
(1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh (Russel,
1961: 206).
Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, ditandai
dengan
munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon
lahir di ambang masuknya zaman modern
yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak
boleh mencari untung namun harus bersifat
kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari
untung artinya dipakai
untuk memperkuat kemampuan
manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka
itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata
dalam kehidupan manusia.
Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power (Verhaak & Imam, 1991:
139).
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar
pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad
XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh
abad pertengahan akhirnya
ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak
dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Bacon mengarang Novum Organon (metode
baru) dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang
ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya
tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya (Bertens,
1988: 44-45). Novum Organon
atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang
penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika
deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd (Hart, 1993: 393).
Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan
Filsafat Ilmu, khususnya tentang
metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah (1986) dalam
Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode
ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut
induksi Bacon”.
Hart mengaggap Bacon sebagai filosof
pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif
menganjurkan penyelidikan ilmiah (Hart, 1993: 394). Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi
pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis
prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui
penemauan ilmiah (Hadiwijono, 1992: 15). Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai
kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga
aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut
keindahan dan akal menyangkut
filsafat (philosophia) sebagai hasil
kerja akal (Verhaak & Imam, 1991:
137).
Sebagai pelopor perkembangan filsafat ilmu pengetahuan, Roger Bacon juga menguraikan tentang
logika. Bacon menyusun
logika meliputi empat macam keterampilan (ars) yaitu bidang penemuan (ars
inveniendi), bidang perumusan kesimpulan
secara tepat (ars iudicandi), bidang
mempertahankan apa yang sudah dimengerti (ars retinendi), dan bidang pengajaran (ars tradendi) (Verhaak & Imam,
1991: 141-142).
Di sini nampak bahwa di tengah kancah
perkembangan ilmu yang larut dengan pengaruh
Aritoteles kehadiran Bacon berusaha untuk mengubah opini
umum tentang silogisme yang telah
ditawarkan Aristoteles sebelumnya.
Bacon mengatakan bahwa logika yang digunakan sejak zaman
Aristoteles lebih merugikan dari pada
menguntungkan. Teori induktif Bacon lahir sebagai jawaban atas kelemahan dari teori deduksi yang sebelumnya sering
dipakai oleh Arisototelian. Bacon, walaupun benar-benar menerima teori prosedur
ilmiah Aristoteles, di sisi
lain ia mengkritik tajam terhadap cara dari prosedur ini diambil. Dalam
teori induktifnya Bacon mempermasalahkan tiga indikasi: pertama, Aristoteles dan pengikutnya mempraktekan
koleksi data yang tidak kritis. Dalam hubungan
ini Francis Bacon sangat menekankan nilai dari peralatan (instruments) ilmiah dalam pengumpulan data. Kedua,
Aristotelian cenderung mengeneralisasikan dengan terlalu terburu-buru. Dengan memberikan sedikit
observasi-observasi, mereka juga menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk mendeduksi scope yang
lebih sedikit. Ketiga, Aristoteles dan pengikutnya memberlakukan induksi dengan penghitungan yang sederhana, yang mana hubungan-hubungan dari sifat-sifat tersebut
ditemukan untuk mempertahankan beberapa individu-individu dari sebuah
tipe yang diberikan, dinyatakan sebagai pegangan bagi keseluruhan individu
dengan tipe tersebut.
Namun, dalam praktiknya hal ini sering menghantarkan
pada kesimpulan-kesimpulan yang salah, di mana hal-hal yang negatif tidak diambil sebagai catatan (Loose,
2001: 57).
Menurut Bacon, selain
dengan mudah menerima
ide-ide dari yang terdahulu, para ilmuan seharusnya menyelidiki alam
dengan pengamatan yang penuh kehati- hatian
dan juga menyertainya denga percobaan-percobaan. Mereka diharapkan mampu mengumpulkan bukti-bukti sebanyak
mungkin tentang fenomena yang sedang
mereka pelajari, menggunakan eksperimen-eksperimen manakala mungkin untuk menjeneralisasikan fakta-fakta
tambahan. Bagaimanapun juga, bukti-bukti tersebut
juga harus dikumpulkan, selanjutnya mereka diharuskan memegangnya dengan penuh kehati-hatian dan memberikan
kesimpulan-kesimpulan general dari bukti-bukti penting tertentu
(Velasquez, 1996: 390).
Dinyatakan di sini eksperimen adalah sangat penting
dalam proses pengambilan kesimpulan dari sebuah
kesimpulan suatu teori. Kritik Bacon walau bagaimanapun
bisa dibenarkan mengingat fakta yang dikumpulkan sebagai bukti untuk melakukan generalisasi adalah sangat
penting keberadaannya, karena hal ini juga
bisa meminimalisir kesalahan dari kesimpulan yang diambil setelah proses percobaan.
Di sisi yang lainnya Bacon menyatakan bahwa sains tidak bisa melewati
cara deduksi karena sains
harus di perhatikan bersama dengan inquiri yang murni dan sederhana (mudah), inquiri tersebut tidak
dibebani dengan praduga yang diyakini. Bacon
juga memegang teguh prinsip keilmuan bahwa sains harus mulai pada gaya ini, selanjutnya harus mengembangkan metode inquiri yang dapat diandalkan (Gemon & Craver, 1995: 47).
Dalam perkembangan selanjutnya muncul John Locke
(1632-1714) David Hume (1711-1776)
dan Immanuel Kant (1724-1804). Ketiga filosof ini memberi pengaruh
cukup besar terhadap
perkembangan filsafat ilmu selanjutnya.
Locke berpendapat bahwa ketika seorang bayi lahir akalnya seperti papan tulis yang kosong atau kamera yang merekam kesan-kesan dari luar. Pengetahuan hanya berasal dari indra yang dibantu oleh pemikiran, ingatan, perasaan indrawi diatur menjadi bermacam-macam pengetahuan. Locke mengakui adanya ide bawaan (innate ideas) (Titus, et al., 1984: 363).
Dalam perkembangan pengetahuan teori Locke dikenal
dengan istilah teori tabularasa. Berdasar pada empirisme
radikal yang dianutnya, Hume yakin bahwa cara
kerja logis induksi yang diperkenalkan oleh Bacon tidak mempunyai dasar teoritis sama sekali. Logika induktif
ialah kontradiksi: dua kata yang bertentangan
satu sama lain sebab induksi melanggar salah satu hukum logika yaitu
bahwa kesimpulan tidak boleh leboh
luas dari pada premis. Sanggahan Hume ini secara konsekwen sesuai dengan anggapan dasarnya
bahwa hanya ada dua cara pengetahuan, yaitu pengetahuan empiris
dan abstract reasoning concerning quantoty or number,
yang keduanya deduktif
(Verhaak & Imam,
1991: 145-146).
Kant dalam hal ini memperkenalkan cara pengenalan dan mengambil kesimpulan secara sintetis yang di peroleh secara a
posteriori dan putusan analitis dan
diperoleh secara a priori,
di samping itu juga kesimpulan yang bersifat sintetis
yang juga diperoleh secara a
priori. Ilmu pasti disusun atas putusan yang a priori yang bersifat sintetis.
Ilmu pengetahuan mengandaikan adanya putusan - putusan yang memberikan pengertian baru (sintetis) dan yang pasti mutlak serta
bersifat umum (a priori). Maka ilmu pengetahuan menuntut adanya putusan-putusan
yang bersifat a priori yang bersifat sintesis
(Hadiwijono, 1992: 65). Ketiga
teorinya ini dikenal dengan nama Kritik Rasio Murni yang dikemukakan dalam
Kritik der Reinen Vernunft (Hamersma, 1990: 29).
Memasuki abad XIX muncul Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) memperkenalkan filsafat Wissenchaftslehre atau Ajaran Ilmu Pengetahuan (Epistimologi), yang bukan-nya
suatu pemikiran teoritis
tentang struktur dan hubungan
ilmu pengetahuan melainkan suatu penyadaran tentang pengenalan diri sendiri yaitu penyadaran metodis di bidang
pengetahuan itu sendiri (Hadiwijono, 1992:
88).
Fichte menentang Kant yang mengatakan bahwa berfikir
secara ilmu-pasti alamlah yang akan
memberikan kepastian di bidang
pengenalan. Fichte tidak memisahkan antara
rasio teoritis dan rasio praktis (Hadiwijono, 1992: 88).
Selanjutnya muncul John Stuart Mill (1806-1873). Dalam A system of Logic Mill menyelidiki dasar-dasar teoritis falsafi proses kerja
induksi. Mill melihat bahwa tugas
utama logika dalam bidang mengatur cara kerja induktif lebih dari sekedar
menentukan patokan deduksi
logistis yang tak pernah menyampaikan pengetahuan baru kepada kita. Dalam menguraikan logika induktif Mill mau menghindari daya eksterm yaitu
generalisasi empiris dan mencari dukungan
dalam salah satu teori
mengenai induksi atau pengertian apriori (Verhaak & Imam, 1991: 147-148). Mill berpendapat bahwa induksi
sangat penting, karena jalan pikirannya dari yang diketahui menuju (proceds)
ke yang tidak
diketahui (Veursen, 1985: 82).
Menurut Mill, Pengetahuan yang paling umum dan lama kelamaan muncul untuk diperiksan ialah The Course of Nature in Uniform yang merupakan asas dasar atau aksioma umum induksi. Asas utama itu itu paling menjadi paling tampak dalam hukum alam dasarriah yang disebutnya Law of Causality, artinya setiap gejala alam yang kita amati mempunyai suatu cause yang dicari dalam ilmu pengetahuan. Sebab itu adalah keseluruhan syarat-syarat yang perlu (necessary) dan memadai (suffient) agar gejala terjadi (Verhaak & Imam, 1991: 149).
Di abad ini muncul sejumlah
tokoh yang pemikirannya erat kaitannya dengan
perkembangan filsafat ilmu, antara lain William Whewel (1795-1866) yang mendukung
adanya intuisi, pertama-tama dalam ilmu pasti mengenai aksioma- aksioma
paling dasar dan menurut contoh
ilmu pasti itu titik pangkal
unduksi dalam ilmu-ilmu alam juga bersifat intuitif.
Hanya saja arti dan kedudukan intuitif pada diri manusia
tidak diterangkan.
Auguste Comte (1798-1857). Menurutnya sejak jaman
teologis dan metafisis
sudah tiba jaman ilmu positif (empiris) yang defenitif. Dalam hal ilmu
positif Comte membedakan pengetahuan
menjadi enam macam ilmu, dari yang paling abstrak: matematika, ilmu falak, fisika,
kimia, ilmu hayat dan sosiologi. Matematika dipandang sebagai
ilmu deduktif, sedangkan
lima lainnya dalam keadaan
ingin mendekati deduktif itu. Dalam hal ini Comte berusaha mengadakan kesatuan antara ilmu pasti dan ilmu empiris (Verhaak
& Imam, 1991: 150).
3.
Filsafat Ilmu Era
Positivisme
Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat
Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat
yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran
filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad
XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran
Wina, di antaranya
Gustav Bergman, Rudolf
Carnap, Philip Frank
Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick (Azim, 1989: v).
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah
diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif (Bertens, 1990: 165). Hal ini memberikan indikasi
bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.
Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era
baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat
ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut
Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman)
(Janik & Toulmin, 1973: 208-209). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme (Chalmers, 1983: xx).
Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan
Positivisme Logic yang memiliki
pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya
aliran ini akibat
pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis (Verhaak
& Imam, 1991: 154).
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan
yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang
dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi
-subjek dan predikat
yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi
menjadi keseluruhan yang meliputi segala
data itu (Verhaak
& Imam, 1991: 154).
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis
matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut
mereka wilayah filsafat
sama dengan wilayah
ilmu pengetahuan lainnya.
Tugas filsafat ialah menjalankan analisa
logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak
diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya (Bertens, 1990: 1970). Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap
bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry
Hamersma dianggap mewarnai
perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung
bersifat Logosentrisme Hamersma, 1990: 141).
4.
Filsafat Ilmu Kontemporer
Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan
munculnya filosof- filosof yang
memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi
menuju suatu zaman yang kemudian
di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran
Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan
suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel
Kuhn (Verhaak & Imam,
1991: 158-161).
Para tokoh filsafat
ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend,
N.R.
Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak
perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan
sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme (Verhaak
& Imam, 1991:
163).
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang
nampak dari gagasan- gagasannya yang banyak direkam
dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).
Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada
Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein,
tetapi juga terhadap
historitas filsafat Ilmu sehingga
ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi.
Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner (Verhaak & Imam, 1991: 166-167).
Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an (Bartens, 1988: 17).
Pemikirannya tentang Anarkisme sebagai kritik terhadap ilmu pengetahuan seperti menemukan padanannya dengan semangat pemikiran Postmodernisme yang mengumandangkan semangat dekonstruksionalisme. Dalam konteks ini apa yang dimaksud Anarkisme oleh Feyerabend adalah suatu orientasi pemikiran filsafat yang senantiasa menggugat kemapanan suatu teori ilmiah (Tim Redaksi Driya karya, 1993: 55).
Dalam Against
method, Feyerabend menyatakan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa
diterangkan ataupun diatur segala macam aturan dan sistim maupun hukum. Perkembangan ilmu terjadi karena
kreatifitas individual, maka satu-satunya prinsip
yang tidak menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan ialah anything goes (apa
saja boleh) (Verhaak & Imam, 1991: 166).
Menurut Feyerabend, dewasa ini ilmu pengetahuan
menduduki posisi yang sama dengan
posisi pada abad pertengahan. Ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru
menguasai dan memperbudak manusia. Oleh karenanya Feyerabend menekankan kebebasan
individu (Verhaak & Imam, 1991: 167).
Dalam tahap perkembangan selanjutnya muncul Institut Penyelidikan Sosial di Frankfurt, Jerman, yang dipelopori oleh Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969), Erich Fromm (1900-1980) dan Herbert Marcuse (1898-1979). Mereka memperbaharui dan memperdalam masalah teoritis dan falsafi mengenai cara kerja dan kedudukan ilmu-ilmu sosial (Verhaak & Imam, 1991: 170-171).
5.
Peranan Filosof
Muslim Terhadap Perkembangan Filsafat Ilmu
Di dunia Islam, perkembangan filsafat
Ilmu walaupun tidak sepesat perkembangannya di belahan dunia lain,
khususnya Eropa dan Amerika, namun sedikit
banyaknya filosof-filosof Muslim juga memiliki andil yang turut mewarnai perkembangan filsafat Ilmu secara keseluruhan. Perkembangan filsafat Islam dengan sendirinya tidak dapat dipisahkan
dan merupakan bagian integral dari perkembangan filsafat
(Hanafi, 1991: 13-15).
Filosof-filosof muslim umumnya punya metode dan teori
tersendiri yang merupakan
corak dan ciri khas pemikirannya yang juga berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan pada masa sesudahnya (Sharif, 1962). Di samping itu perkembangan ilmu pengetahuan dan
filsafat secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan
dari peran ilmuwan dan filosof muslim khususnya dalam transfer dan translating ilmu dan filsafat Yunani ke dalam
Bahasa Arab yang kemudian pada masa-masa
selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa, Latin dan sebagainya (Nasution, 1992: 10).
Salah seorang filosof
muslim yang mendapat
posisi terhormat dalam perkembangan filsafat
ilmu ialah Abu Nasr Muhammad
bin Muhammad bin Tarkhan, yang lebih populer
dengan al-Farabi (Latin: Averroes, 257 H./870 M. –
337 H./950 M.). Beliau dikenal sebagai al-Muallim al-Sani atau The Second Teacher karena usahanya yang memberikan komentar atas logika Aristoteles (Nasr, 1986: 1964-1966). Dalam mengomentari karya Aristoteles tersebut, al-Farabi menjadikan pemikiran sillogysm menjadi lebih mudah dipahami oleh orang-orang sesudahnya.
Perkembangan filsafat Ilmu di Dunia Islam dewasa ini ada
kesan diarahkan pada suatu upaya mewujudkan Islamisasi sains (Hoodboy,
1996). Upaya ini misalnya diketengahkan oleh pemikir-pemikir muslim,
antara lain Maurice
Bucaille, Sayyed Husssein
Nasser, Ziauddin Zardar,
dan lain-lain.
6. Sejarah Perkembangan Ilmu di Cina, India, dan Jepang
Peradaban India yang pada awal telah mencapai teknologi
tingkat tinggi. Kontak Eropa dengan peradaban
India sebagian besar
melalui sumber berbahasa
Arab. Jelas terlihat
matematika India dengan sistem bilangan
dan perhitungannya yang telah
mempengaruhi aljabar Arab dan melengkapi angka
utama Arab. Tetapi ciri khasnya
adalah pemikiran dengan kesadaran yang tinggi.
Peradaban Cina, hingga zaman renaisans peradaban Cina
jauh lebih maju dibanding Barat. Menurut Francis
Bacon, Tranformasi masyarakat Eropa banyak berasal
dari Cina seperti
kompas magnetik, bubuk mesiu, dan mesin cetak.
Namun Eropa tidak pernah menyadari
hutang budinya kepada Cina. Kegagalan
Cina dalam membuat
perkembangan ilmu dan teknologi adalah filsafat yang ada lebih berlaku praktis
ketimbang prinsip-prinsip abstrak,
filsafat yang ada didasarkan analogi-analogi harmonis dan organis
serta pedagang sebagai
kelas yang tidak dapat dipercaya, sehingga ciri renaisans
yang terjadi di Eropa tidak terjadi di Cina.
Peradaban Jepang selama beberapa abad terimbas dari
kultur Cina. Pada awal abad ke-17 memutuskan untuk menutup pintu dari pengaruh-pengaruh yang dianggap membahayakan. Awal abad ke-19 memutuskan berasimilasi
ke bangsa luar dan melaksanakan
dengan sungguh. Saat ini satu sisi Jepang hidup dengan teknologi yang tinggi akan tetapi tetap mengikuti tradisi
sosial yang kuno seperti bangsa Cina.
F.
Tujuan dan Fungsi Filsafat
Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat.
Oleh karena itu, tujuan dan fungsi filsafat
ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari tujuan dan fungsi
filsafat itu sendiri. Jujun S. Suriasumantri (1999: 19) mengatakan bahwa berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita
belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui
dalam kesemestaan yang seakan terbatasi
ini. Demikian juga berfilsafat berarti
mengoreksi diri sendiri,
semacam keberanian untuk berterus terang,
seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Berdasarkan dari beberapa pendapat tentang berbagai pengertian filsafat, maka tujuan umum pelajaran filsafat adalah sebagai berikut: (1) dengan berfilsafat kita lebih memanusiakan diri, lebih mendidik dan membangun diri manusia; (2) dapat mempertahankan sikap objektif dan mendasarkan pendapat atas pengetahuan yang objektif, tidak hanya berdasarkan pertimbangan- pertimbangan simpati dan antipati saja; (3) mengajar dan melatih kita memandang dengan luas. Jadi, menyembuhkan kita dari kepicikan, dari “aku- isme” dan “aku-sentuisme” hanya mementingkan “aku-nya” saja, yang dapat merugikan perkembangan manusia seutuhnya; (4) dengan pelajaran filsafat kita diharapkan mnejadi orang yang dapat berfikir sendiri, tidak menjadi yes- man atau yes-woman. Kita harus menjadi orang yang sungguh-sungguh mandiri, terutama dalam lapangan kerohanian dan menyempurnakan cara kita berpikir, dan memiliki sifat kritis.
Menurut Burhanuddin Salam (2000: 19), filsafat dengan
fungsinya sebagai Mater Scientiarum (induk ilmu
pengetahuan) berarti mencakup semua ilmu
pengetahuan khusus. Filsafat itu juga merupakan suatu pegangan menusia pada masa itu, dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Dengan menguasai filsafat
pada zaman itu (sebelum masehi),
dapatlah seorang ahli menjawab segala permasalahan di dunia ini, baik masalah
manusia sendiri, alamnya,
maupun Tuhannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan
perkembangan zaman, meningkatnya kebutuhan
hidup manusia, dan semakin berkembangnya kehidupan modern maka semakin terasalah kebutuhan untuk
menjawab segala tantangan yang
dihadapi manusia. Dalam keadaan demikian, lahirlah apa yang disebut ilmu-ilmu pengetahuan khusus.
Menurut Burhanuddin Salam (1988) fungsi dari filsafat
itu adalah bahwa betapa besar kepentingan filsafat
bagi perwujudan dan pembangunan hidup kita. Jadi kita menjunjung tinggi dan mempertahankan filsafat sebagai suatu hal
yang sangat berharga. Akan tetapi bersama-sama dengan itu harus kita akui juga batas-batas atau kenisbian filsafat.
Terbatasnya kemampuan akan budi manusia
dalam usahanya untuk memecahkan soal-soal
tentang dunia dan manusia, tentang
hidup dan Tuhan (Salam, 1988: 109).
Secara spesifik, cara kerja filsafat ilmu memiliki pola dan model-model yang spesifik dalam menggali dan meneliti dalam menggali pengetahuan melalui sebab musabab
pertama dari gejala ilmu pengetahuan. Di dalamnya mencakup
paham tentang kepastian, kebenaran, dan obyektifitas. Cara kerjanya
bertitik tolak pada gejala-gejala pengetahuan
mengadakan reduksi ke arah intuisi
para ilmuwan, sehingga
kegiatan ilmu-ilmu itu dapat dimengerti sesuai dengan kekhasan
masing-masing (Verhaak, dkk.,
1995: 107-108), disinilah
akhirnya dapat dipahami
fungsi dari filsafat
ilmu.
Jadi, Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan
landasan filosofik dalam memahami berbagi
konsep dan teori sesuatu disiplin
ilmu dan membekali
kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula,
bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua
fungsi, yaitu: sebagai confirmatory
theories yaitu berupaya
mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar
secara sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu adalah
1. Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
2. Kritis terhadap aktivitas ilmu/keilmuan
3. Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-meneru sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu).
4. Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional.
5. Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid.
6. Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)
G.
Komponen/Anatomi Pengetahuan dan Ilmu
Pengetahuan tidak serta merta dipandang
sebagai ilmu, ada prasyarat sehingga pengetahuan bisa berproses menjadi
ilmu. Proses tersebut
dirangkai dalam komponen
atau anatomi yang dapat dijelaskan seperti di bawah ini.
Anatomi atau komponen ilmu dibangun dari realita alam semesta. Komponen ilmu merupakan aspek dinamis dari perwujudan ilmu yang bersifat abstrak dan general (umum). Komponen-komponen ilmu tersusun dari alam konkrit (realita) hingga alam abstrak (ilmu). Komponen-komponen yang menjembataninya yaitu fenomena, konsep, variabel, proposisi, fakta dan teori. komponen-komponen tersebut dapat dijelaskan dalam rangkaian berikut:
Dari skema diatas terurai jelas dimana pengetahuan berangkai sebagai tahapan perkembangan (development). Hal ini sesuai dengan ungkapan bahwa ilmu merupakan akumulasi dari pengetahuan yang tersusun secara sistematis, bersifat abstrak, general dan universal yang mampu menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena yang terjadi.
Melihat skema diatas dapat dijelaskan bahwa fenomena yang ditangkap oleh panca indera manusia dari alam nyata diabstraksikan pada konsep-konsep. Penelaahan mendasar dari konsep-konsep tersebut dijewantahkan melalui variabel-varlabel. Variabel-variabel tersebut digolongkan berdasarkan variabel penentu (determinant) dan variabel yang ditentukan (result), yang kemudian dicarikan korelasinya sebagai sebab-akibat. Hal ini disebut proposisi. tersebut merupakan kesimpulan penalaran pikiran dengan tingkat kebenarannya yang masih sementara yakni disebut hipotesis. Apabila proposisi tersebut teruji secara empiris maka disebut fakta. Kemudian jika beberapa fakta terjalin dalam rangkaian yang memiliki arti maka tahap ini disebut teori. Teori-teori inilah sebenarnya yang merupakan ilmu (ilmu penuh dengan teori- teori). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa teori adalah seperangkat konsep- konsep dan/atau variabel-variabel dari suatu fenomena dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain dan tersusun secara sistematis, dan bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan meramalkan (prediction) ataupun mengendalikan (control) fenomena-fenomena. Kesimpulan teori-teori bersifat general dan abstrak.
H. Model Perkembangan Ilmu Menurut Khun
Menurut Khun ilmu pengetahuan berkembang
dalam model skema sebagai berikut:
Keterangan :
P1 : Paradigma lama, ilmu pengetahuan pada
waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma tertentu
NC : Normal Science,
Periode akumulasi ilmu pengetahuan dimana para ilmuwan
bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh.
A : Anomalies, para
ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dan penyimpangan yang terjadi karena
ketidakmampuan paradigma yang ada di dalam memberikan penjelasan secara memadai
terhadap persoalan- persoalan yang timbul.
C : Crisis, jika pertentangan terus terjadi, krisis akan muncul sedangkan paradigma
tadi akan mulai disangsikan
validitasnya.
R : Revolution, krisis memuncak, timbul revolusi
ilmiah, paradigma baru muncul menggantikan paradigma lama.
P2 : Paradigma baru, yang mampu memecahkan persoalan yang dihadapi.
Dalam tahap ini terjadi
perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
I. Paradigma dan Penelitian Ilmiah
Paradigma merupakan landasan
penting bagi penelitian ilmiah. Selain mengarahkan penelitian, paradigma juga
mampu mengubah pandangan hidup para ilmuwan, dimana
para ilmuwan cenderung
terikat dan mengacu
pada aturan-aturan dan standar yang sama untuk suatu
penelitian ilmiah. Sehingga mereka cenderung
menggunakan metode yang sama
untuk memecahkan persoalan yang sama.
Menurut Khun, terdapat
dua jenis penelitian ilmiah, yaitu: 1) Normal science, dan 2)
Extra ordinary science.
Penelitian yang bersifat menghasilkan normal science bertolak pada suatu kesamaan pengetahuan dan teori tertentu
yang disepakati bersama dalam disiplin ilmu
tertentu. Pada normal science hanya
menguji (meneliti) secara terbatas suatu paradigma yang telah disepakati. Penelitian seperti ini tidak mendorong
atau menghasilkan teori baru. Sifatnya
hanya mempertahankan status-quo dengan menggunakan paradigma
yang tersedia untuk memecahkan persoalan
yang dihadapi.
Ketika paradigma yang tersedia tidak mampu menjawab
persoalan, maka paradigma tersebut
ditinjau ulang dengan sikap keragu-raguan (doubts).
Keragu- raguan ini menciptakan kondisi
kebimbangan di kalangan
masyarakat (ilmiah), dan ini menyebabkan kehilangan rasa terikat
pada keabsahan paradigma yang ada. Para ilmuwan karena tidak terikat
dengan paradigma yang ada, maka dalam mengembangkan penelitiannya menggunakan pendekatan paradigma baru, sehingga menghasilkan extra ordinary science. Situasi dan kondisi inilah disebut dengan
revolusi sains.
Paradigma yang baru lahir tidak lantas diterima begitu saja, tetapi harus disertai dengan perubahan dan perbaikan pada perangkat teori yang membentuk dan melandasinya. Paradigma baru tidak menambah teori-teori yang ada, tetapi bersifat mengubah dan menggantinya.
BAB III
SUBSTANSI FILSAFAT ILMU
Telaah tentang substansi
filsafat ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian,
yaitu substansi yang berkenaan dengan:
(1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi. Kemudian
ada tambahan yaitu mengenai telaah
konstruksi teori.
A.
Fakta atau Kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam,
bergantung dari sudut pandang
filosofis yang melandasinya. Berikut pandangan mengenai
pengertian fakta dari berbagai aliran:
1. Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada
korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
2. Fenomenologik memiliki
dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah
teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi
moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan
sistem nilai.
3. Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional.
4. Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi
antara empiri dengan obyektif.
5. Pragmatisme memiliki
pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Pada sisi lain, Lorens Bagus (2005) memberikan penjelasan
tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah.
Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomena
atau bagian realitas
yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis
manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan
refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia.
Yang dimaksud refleksi
adalah deskripsi fakta obyektif
dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis.
Tanpa fakta-fakta ini, bangunan teoritis
itu mustahil terwujud.
Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk
suatu deskripsi ilmiah.
B. Kebenaran (Truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai
teori tentang rumusan
kebenaran. Namun secara
tradisional, kita mengenal tiga teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Suriasumantri, 1999). Sementara, Michel
William mengenalkan lima teori kebenaran
dalam ilmu, yaitu : kebenaran
koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng
Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
1. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu
adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang
memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa
skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual
rasional mau pun pada dataran
transendental.
2. Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang
terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan
dibuktikan adanya kejadian
sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan
belief yang diyakini,
yang sifatnya spesifik.
3. Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya,
baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran
tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
4. Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang
individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan
praktis.
5. Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak
konsep kompleks, yang merentang
dari yang subyektif
individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles,
proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi.
Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat
dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
6. Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan
perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang
analisis regresi, analisis
faktor, dan analisis
statistik lanjut lainnya
masih dimaknai pada korespondensi unsur
satu dengan lainnya.
Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
C. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
D.
Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat
akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran
korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya
dengan fakta. Belief pada
Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada
skema moral yang jelas, tidak
general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional,
koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena
Bogdan dan Guba menampilkan
kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran
struktural paradigmatik rasional
universal dan Noeng
Muhadjir mengenalkan realisme
metafisik dengan menampilkan kebenaran struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,
2001: 9).
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1999: 46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih
kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut
cara tertentu, yakni berdasarkan logika.
Secara garis besarnya,
logika terbagi ke dalam dua bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
E.
Telaah Konstruksi Teori
Kata “teori” secara etimologi berasal dari bahasa yunani
yaitu theorea, yang berarti melihat, theoros yang berarti pengamatan (Bagus, 2006: 1097). Adapun pengertian teori menurut terminologi
memiliki beberapa pengertian seperti yang dikemukakan oleh ilmuwan sebagai berikut :
Kerlinger (Wattimena, 2008: 257) mengemukakan bahwa
teori adalah suatu kumpulan variabel
yang saling berhubungan, defini-defini, proposisi-proposisi yang memberikan pandangan
yang sistematis tentang
fenomena dengan mempesifikasikan relasi-relasi yang ada
diantara beragam variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada.
Cooper dan Schindler (2003) mengemukakan bahwa, a theory is a set systematically
interrelated concepst, defintion, and proposition that are advanced to explain and predict phenomena (fact). Teori adalah
seperangkat konsep, definisi
dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan
untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Teori menurut Sugiyono (2007: 52-54) adalah alur logika
atau penalaran, yang merupakan
seperangkat konsep, definisi,
dan proposisi yang disusun secara sistematis. Secara umum teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediktion), dan pengendalian (control) suatu gejala.
Bangunan teori adalah abstrak dari sejumlah konsep
yang disepakatkan dalam
definisi-definisi. Konsep
sebagai abstraksi dari banyak empiri yang telah ditemukan kesamaan umumnya dan kepilahannya dari
yang lain atau abstraksi dengan cara menemukan
sejumlah esensi pada suatu kasus, dan dilakukan berkelanjutan pada kasus-kasus lainnya, dapat dikonstruksikan lebih jauh menjadi
proposisi atau pernyataan, dengan membuat kombinasi dari
dua konsep atau lebih. Bangunan- banguanan teori tersebut :
1. Teori Ilmu
Teori ilmu memiliki dua kutub arti teori. Kutub pertama
adalah teori sebagai hukum
eksperiment muncul beragam, mulai dari hasil eksperimen tersebut meluas ke hasil observasi phisik seperti teori
tentang panas bumi. Kutu ke dua adalah hukum sebagai
kalkulus formal dapat muincul beragam
pula, mulai dari yang dekat
dengan kutub pertama
seperti teori sebagai
eksplanasi phisik misalnya
teori Galileo tentang peredaran planet pada porosnya,
teori sinar memancar melengkung bila lewat
bidang grafitasi. Selanjutnya teori sebagai interpretasi terarah atas observasi seperti sosial statis dan sosial dinamis
dari August Conte dan pada ujung kutub ke dua adalah teori sebagai
prediksi logis; dengan sifatnya berlaku
umum dan diprediksikan berlaku kapan pun, dahulu dan yang akan datang. Seperti
teori newton, teori relativitas dari Einstein yang memberikan penjelasan alternatif tentang
sumber energi yang memungkinkan matahari menghasilkan energi besar dalam waktu yang begitu lama (Wattimena, 2008: 193).
2. Temuan Substantif Mendasar
Temuan-temuan atas bukti empirik dapat dijadikan tesis
substantive, dan diramu dalam konsep lain dapat dikonstruk menjadi teori subtantive. Asumsi keberlakuan
subtantif tersebut ada pada banyak kasus yang sama di tempat dan waktu yang berbeda.
Demikian pula presepsi ilmuwan tentang atom, berkembang. Dari partikel terkecil, diketemukannya unsur radioaktif pada atom dan diketemukannya unsur- unsur elektron yang berputar mengorbit pada proton yang mempunyai kekuatan magnetik. Kemudian pada tahun 1937 diketemukan neutron, semacam proton, tetapi tidak mempunyai kekuatan magnetik. Berat neutron beragam dan inilah yang menyebabkan atom satu beda beratnya dengan atom yang lain. Temuan teori atom ini merupakan temuan ilmiah substantif mendasar (Muhadjir, 2001: 41).
3. Hukum-hukum Keteraturan
a.
Hukum Keteraturan Alam
Alam semesta ini memiliki keteraturan yang determinate. Ilmu pengetahuan alam biasa disebut hard science, karena segala proses alam yang berupa benda anorganik sampai organik dan hubungan satu dengan lainnya dapat diekspalanasikan dan diprediksikan relatif tepat. Kata relative tepat memuat dua makna : pertama, bila teori yang kita gunakan untuk mebuat ekplanasi atau prediksi sudah sangat lebih baik, dan ke dua, bila variabel yang ikut berperan terpantau (Muhadjir, 2001: 41). Menurut al- Kindi ketertiban alam ini, baik susunan, interaksi, relasi bagian dengan bagiannya, ketundukan suatu bagian pada bagian- bagian lainnya, dan kekukuhan strukturnya di atas landasan prinsip yang terbaik bagi proses penyatuan, perpisahan, dan muncul serta lenyapnya sesuatu dalam alam, mengindikasikan adanya pengaturan yang mantap dan kebijakan yang kukuh. Tentu ada pengatur yang maha bijaksana dibalik semua ini, yaitu Allah (Drajat, 2006: 16-17).
b. Hukum Keteraturan Hidup Manusia
Hidup manusia itu memiliki keberagaman sangat luas. Ada
yang lebih suka kerja keras
dan yang lain menyukai hidup santai, ada yang
tampil ulet meski
selalu gagal, yang lain mudah putus asa, ada yang berteguh pada prinsip dan sukses dalam hidup,
yang lain berteguh pada prinsip, dan tergilas habis. Kehidupan manusia mengikuti sunnatullah, mengikuti hukum
yang sifatnya indeterminate. Mampu membaca kapan harus teguh prinsip, kapan
diam dan kapan berbicara dalam nada yang bagaimana, dia akan sukses beramal ma’ruf nahi mungkar.
Manusia mempunyai kemampuan
untuk memilih yang baik, dan menghindari yang tidak baik. Dataran baik tersebtu dapat berada pada dataran kehidupan
prakmatik sampai pada dataran moral
human ataupun moral religius. Memilih kerja yang mempunyai
prospek untuk menghidupi keluarganya, merupakan lebebasan memilih
manusia dengan konmsukuensi
ditempuhnya keteraturan sunnatullah; harus tekun bekerja dan berupaya berprestasi didunia kerjanya. Untuik diterima
kepemimpinannya, seorang pemimpin
perllu berupaya menjadi
siddiq, amanah, dan maksum. Keadaan
demikian berkenan dengan pemikiran ibnu bajjah yang membagi perbuatan
manusia kepada perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang didorong oleh kehendak
/
kemauan yang dihasilkan oleh pertimbangan pemikiran, dan perbuatan hewani yaitu perbuatan instingtif sebagaimana terdapat pada hewan, muncul karena dorongan
intim dan bukan dorongan pemikiran (Drajat,
2006: 16-17).
c.
Hukum Keteraturan Rekayasa Teknologi
Keteraturan alam yang
determinate, dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu keteraturan substantif dan keteraturan esensial. Seperti pohon
mangga golek akan berbuah mangga
golek. Ketika ilmuwan berupaya menemukan ensensi rasa enak pada mangga, menemukan ensensi buah banyak
pada mangga, dan menemukan esensi
pohon mangga baru manalagi yang enak buahnya, mebuat rekayasa agar dapat diciptakan pohon mangga baru manalagi yang enak buahnya,
banyak buahnya, dan tahan penyakit, di sini nampak
bahwa ilmuwan mencoba
menemukan keteraturan
esensial pada benda organik. Produk teknologi merupakan produk kombinasi
antara pemahaman ilmuwan
tentang keteraturan esensial
yang determinate dengan upaya rekayasa kreatif manusia mengikuti hukum
keteraturan sunnatullah (Muhadjir,
2001: 43).
4.
Konstruk Teori Model Korespondensi
Konstruk berfikir korespondensi adalah bahwa kebenaran sesuatu dibuktikan dengan
cara menemukan relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan
korespondensi tersebut beragam mulai dari korelasi, kausal,
konstributif, sampai mutual. Konstruk
berfikir statistik kuantitatif dan juga pendekatan positifistik menggunakan cara ini
(Muhadjir, 2001: 52).
Menurut Bertand Russel suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu, misalnya, jika ada seseorang yang mengatakan “Ibukota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab pernyataan itu sesuai dengan fakta objektif (Bakhtiar, 1997: 33).
5.
Konstruk Teori Model Koherensi
Konstruk teori model koherensi merentang
dari koheren dalam makana rasional sampai dalam makna moral. Konstruk
kohren dalam makna rasional adalah
kesesuaian sesuatu dengan skema rasional
tertentu, termasuk juga kesesuaian sesuatu
dengan kebenaran objektif raional.
Aristoteles dalam teori koherensi memberikan standar kebenaran dengan
cara dedukatif, yaitu
kebenaran yang didasarkan pada kriteria koherensi yang dapat diungkap.
Bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap
benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten denga pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Bila kita menganggap benar bahwa “ Semua manusia pasti mati” adalah pernyataan yang benar, maka
pernyataan bahwa “Si Fulan adalah seorang manusia dan si Fulan
pasti mati” adalah
benar pula. sebab pernyataan ke dua adalah
konsisten dengan pernyataan yang pertama
(Bakhtiar, 1997: 32).
6.
Konstruk Teori Model Pragmatis
Konstruk teori pragmatis
berupaya menkonstruk teorinya
dari konsep- konsep, pernyataan-pernyataan yang
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau
tidak. Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis
atau tidak; artinya
suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau inflikasinya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Kaum
prakmatis berpaling pada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari
pengetahuan tentang alam ini yang dianggap fungsional dan berguna dalam menafsirkan
gejala-gejala alamiah. Agama bisa dianggap
benar karena memberikan ketenangan pada jiwa dan ketertiban dalam masyarakat. Para ilmuwan yang menganut
asas ini tetap menggunakan suatu teori tertentu selama
teori itu mendatangkan manfaat (Bakhtiar, 1997: 34).
7.
Konstruk Teori Iluminasi
Teori Iluminasi menurut Mehdi Ha’iri Yasdi
adalah pengetahuan yang semua hubungannya berada dipandang dalam
kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi
gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan ekterior. Artinya hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan
swaobjek tanpa campur tyangan koneksi
dengan objek eksternal
(Bakhtiar, 1997: 35-36).
Selanjutnya Iluminasi oleh Yasdi disebut sebagai ilmu hudhuri yaitu pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan neotik dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuan swaobjek. Ilmu hudhuri tidak memiliki objek di luar dirinya, tetapi objek itu sendiri ada adalah objek subjektif ada pada dirinya. Oleh sebagian sufi, iluminasi itu adalah pengetahuan diri tentang diri yang berasal dari penyinaran dan anugerah Tuhan yang digambarkan dengan berbagai ungkapan dan keadaan. Ada yang menyebutkannya dengan terbukanya hijab antara dirinya dengan Tuhan, sehingga pengetahuan dan rahasianya dapat diketahui. Ada yang mengungkapkan dengan rasa cinta yang sangat dalam sehingga antara dia dan Tuhan tidak ada rahasia lain. Pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan-Nya. Dan ada yang menyatakan dengan kesatuan kesadaran (ittihad/hulul) (Bakhtiar, 1997: 37).
BAB IV
DIMENSI KAJIAN FILSAFAT
ILMU
Ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan tercakup pula telaahan
filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat
ilmu. Pertama, dari segi
ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita
sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam
hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi.
Dengan demikian, meliputi
fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat
diolah, diinterpretasi, diverifikasi,
dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang
menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaah kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan
pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek
prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi
langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang
berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir
ilmiah yang digunakannya. Telaah
ketiga ialah dari segi aksiologi yaitu terkait
dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
Berikut ini digambarkan batasan ruang
lingkup atau bidang garapan tahapan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi.
A.
Ontologi
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang
paling kuno dan berasal dari Yunani.
Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis
yang terkenal diantaranya Thales,
Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum mampu membedakan antara penampakan dengan kenyataan.
1.
Pengertian Ontologi
Menurut Bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani,
yaitu on / ontos = being atau ada, dan logos = logic atau ilmu.
Jadi, ontologi bisa diartikan: The theory
of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan),
atau Ilmu tentang yang ada
Pengertian menurut Istilah, ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality
yang berbentuk jasmani
(kongkret) maupun rohani (abstrak).
Term ontologi pertama
kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius
pada tahun1636 M untuk menamai teori tentang hakikat
yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangan selanjutnya Christian Wolf (1679-1754 M) membagi Metafisika menjadi 2 yaitu: (1) Metafisika
Umum yang disebut sebagai ontologi. Jadi
metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip
yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada; dan (2)
Metafisika Khusus,
terdiri dari kosmologi, psikologi, teologi.
2. Aliran-aliran dalam Ontologi
Dalam pemahaman ontologi
dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok/aliran-aliran pemikiran antara lain: Monoisme,
Dualisme, Pluralisme, Nihilisme, dan Agnotisisme.
a. Monoisme
Monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh
kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin
dua, baik yang asal berupa materi ataupun
rohani. Paham ini kemudian terbagi
kedalam dua aliran:
(1) Materialisme, dan (2) idealisme.
Aliran materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu
adalah materi, bukan rohani. Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-546
SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Aliran ini sering juga
disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa /ruh tidak berdiri sendiri. Tokoh aliran ini
adalah Anaximander (585-525 SM). Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan
alasan bahwa udara merupakan sumber
dari segala kehidupan. Dari segi dimensinya,
paham ini sering dikaitkan dengan teori atomisme, bahwa semua materi
tersusun dari sejumlah bahan yang
disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari itulah yang
dinamakan atom-atom. Tokoh aliran ini
adalah Demokritos (460-370 SM). Ia
berpendapat bahwa hakikat alam ini
merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang merupkan asal kejadian alam.
Idealisme diambil dari kata idea, yaitu sesuatu
yang hadir dalam jiwa. Idelisme
sebagai lawan materialisme, dinamakan
juga spiritualisme. Idealisme berarti serbacita, spiritualisme berarti serba ruh. Aliran
idealisme beranggapan bahwa hakikat
kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.
Tokoh aliran idealisme diantaranya:
1)
Plato (428
-348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti
ada idenya, yaitu konsep universal
dari setiap sesuatu.
2) Aristoteles (384-322
SM), memberikan sifat keruhanian dengan
ajarannya yang menggambarkan alam ide itu sebagai
sesuatu tenaga yang berada dalam benda- benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu.
3)
Pada
Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.
4)
Kemudian Immanuel
Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-
1831 M), dan Schelling
(1775-1854 M).
b. Dualisme
Aliran
ini berpendapat bahwa benda terdiri
dari 2 macam hakikat sebagai
asal sumbernya yaitu hakikat
materi dan hakikat
ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang
dianggap sebagai bapak filsafat
modern. Ia menamakan
kedua hakikat itu dengan istilah
dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
Tokoh yang lain : Benedictus De spinoza
(1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646-1716 M).
c. Pluralisme
Paham pluralisme berpandangan bahwa
segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Lebih jauh lagi paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun
dari banyak unsur.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan
bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah,
air, api, dan udara.
Tokoh modern aliran
ini adalah William
James (1842-1910 M) yang terkenal
sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning
of Truth, James mengemukakan bahwa
tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat
tetap, yang berdiri
sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Apa yang kita anggap benar sebelumnya dapat dikoreksi/diubah oleh pengalaman berikutnya.
d.
Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Doktrin tentang
nihilisme sudah ada semenjak zaman
Yunani Kuno, tokohnya
yaitu Gorgias (483-360
SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu:
Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis
Kedua, bila sesuatu
itu ada ia tidak dapat diketahui
Ketiga, sekalipun
realits itu dapat kita ketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Tokoh modern
aliran ini diantaranya: IvanTurgeniev (1862 M) dari Rusia dan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), ia
dIlahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga pendeta.
e. Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun ruhani.
Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu Agnostos yang berarti unknown A artinya not Gno (know).
Aliran ini dapat kita temui dalam
filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti:
a.
Soren
Kierkegaar (1813-1855 M), yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme
b.
Martin Heidegger (1889-1976 M) seorang
filosof Jerman
c.
Jean Paul
Sartre (1905-1980 M), seorang filosof dan sastrawan Prancis yang atheis
B.
Epistemologi
Masalah epistemologi bersangkutan dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan.
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.
Keterkaitan antara ontologi,
epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem
dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang
lain, sebab ketiga- tiganya memiliki
fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Ketika kita membicarakan epistemologi, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan
pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam
lingkup epistemologi adalah aktivitas yang
paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.
1.
Pengertian Epistemologi
Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan
para ahli yang dapat dijadikan
pijakan untuk memahami
apa sebenarnya epistemologi itu. Epistemologi juga
disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata
Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti
teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari
asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya
(validitasnya) pengetahuan.
Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya
adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi
adalah:
a. Bagaimanakah manusia
dapat mengetahui sesuatu?
b. Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?
c. Bagaimanakah
validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori
(pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003: 32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana
kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan? apakah hakikat, jangkauan dan
ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia
(S.Sahakian &
L. Sahakian,
1965, dalam Suriasumantri, 1999).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu. Sedangkan, Hardono Hadi (1996) menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian- pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas
diungkapkan Dagobert D.Runes.
Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat
yang membahas sumber,
struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi
Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai
“ilmu yang membahas
tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati
ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua
pengertian ini sedikit
perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua
pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif
lebih mudah dipahami.
2.
Ruang Lingkup
Epistemologi
Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi
hakekat, sumber dan validitas
pengetahuan. Mudlor Achmad
merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan
sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup
pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran
itu, mungkinkah kita mencapai
ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat
diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian
epistemologi lebih banyak terbatas
pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan
Paul Suparno menilai
epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya
justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang
mendapat perhatian yang layak.
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan
pembahasan epistemologi itu hanya terbatas
pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan
aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga
senantiasa berkaitan dengan
nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif.
Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi.
3.
Objek Dan Tujuan Epistemologi
Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal.
Objek material adalah sarwa-yang-ada,
yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat
manusia. Sedangkan objek
formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya)
tentang objek material
filsafat (sarwa-yang-ada).
Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Tujuan epistemologi menurut
Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan
syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat
tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan
tetapi yang menjadi pusat perhatian
dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki
potensi untuk memperoleh
pengetahuan.
4.
Landasan Epistemologi
Kholil Yasin menyebut
pengetahuan dengan sebutan
pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu
pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa,
juga bisa disebut pengetahuan sehari- hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, disamping disebut
ilmu pengetahuan dan
pengetahuan ilmiah, juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan- sebutan
tersebut hanyalah pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang menajamkan
perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu
melalui pelacakan akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari
wujud pengetahuan menuju ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah,
karena metode ilmiah menjadi standar
untuk menilai dan mengukur kelayakan
suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk
dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk wilayah
filsafat. Dengan demikian
metode ilmiah selalu
disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu
rasio dan fakta secara integratif.
5.
Hubungan Epistemologi, Metode dan Metodologi
Lebih jauh lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode
merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari
peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang
metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan
prosedur atau cara mengetahui sesuatu,
maka metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual terhadap
prosedur tersebut. Implikasinya, dalam metodologi dapat ditemukan
upaya membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan metode.
Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme, sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah epistemologi.
Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut:
Dari epistemologi, dilanjutkan dengan
merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri
adalah sub sistem dari filsafat, maka metode
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat
mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup
bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya
diperoleh metode. Jadi, metode merupakan
perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan
salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi merupakan
bagian dari filsafat.
6.
Hakikat Epsitemologi
Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan,
membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah
masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah
filsafat. Pandangan yang lebih ekstrim lagi
menurut Kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam kajian psikologi.
Sebab epistemologi itu berkenaan dengan
pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap
cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang
berkaitan dengan pekerjaan
pikiran manusia. Cara pandang demikian
akan berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran.
Kemudian jika diingat,
bahwa filsafat adalah landasan dalam menumbuhkan disiplin
ilmu, maka seluruh
disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama
pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran
yang dapat diterima
akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin
ilmu lain, kecuali
psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.
Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas- aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.
Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C.Hunt yang menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita.
Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu
adalah inti sentral setiap pandangan
dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin
dan apa yang tidak mungkin
menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa
yang mungkin diketahui tetapi lebih baik
tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan
demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap
objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh
pengetahuan manusia. Ada objek-objek
tertentu yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan
untuk diketahui. Ada juga objek yang
benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui.
Epistemologi ini juga bisa
menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu
dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju
detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari
gejala-gejala yang sama, baruk ditarik
kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya
ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya berpikir
berdasarkan pertimbangan jangka
pendek sekarang dan ada pula
seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui.
Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan.
Tetapi terkadang kita jumpai seseorang
dalam melakukan sesuatu
sesungguhnya sia-sia, karena
jangkauan berpikirnya yang amat pendek,
jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu justru merugikan.
Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional, sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi, sedangkan usah membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.
Jika metode ilmiah sebagai hakikat
epistemologi, maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat
dan landasan dari epistemologi yang sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di sisi
lain berarti hakikat epistemologi itu
bertumpu pada landasannya, karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman
ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali, sehingga
selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara berkesinambungan dan serius.
7.
Pengaruh Epistemologi
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap
peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk
oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur
semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah
yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan
yang merupakan hasil pengamatan
kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka.
Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi.
Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan
epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai
merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung
oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Demikian halnya yang
terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata
teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan
pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong
manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi
menemukan dan menciptakan sesuatu
yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran
dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu,
perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu
itu, dan sebagainya.
C. Aksiologi
1. Pengertian Aksiologi
Berikut beberapa pendapat tentang pengertian Aksiologi:
Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani
Axios (layak, pantas)
dan Logos (Ilmu).
Jadi aksiologi merupakan
cabang filsafat yang mempelajari nilai.
Jujun S.Suriasumantri (1999) mengartikan
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai
suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala
alam (Rakhmat, 2010)
Dari pendapat di atas dapat
dikatakan bahwa Aksiologi
merupakan ilmu yang mempelajari hakikat
dan manfaat yang sebenarnya
dari pengetahuan.
2.
Penilaian Aksiologi
Bramel (dalam Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi
dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu
tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin
khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah
agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang
ia lakukan. Didalam
etika, nilai kebaikan
dari tingkah laku manusia
menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap
diri sendiri, masyarakat, alam maupun
terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan
dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki
oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena
di sekelilingnya.
Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar, 2006),
nilai itu objektif ataukah subjektif
adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif,
apabila subjek sangat berperan dalam segala
hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya
dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan
penilaian tanpa mempertimbangkan apakah
ini bersifat psikis
ataupun fisik. Dengan
demikian nilai subjekif
akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki
akal budi manusia seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan
selalu mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak
tergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara
realitas benar- benar ada (Irmayanti Budianto, dalam Bakhtiar, 2006).
Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan social
politik yang akan melahirkan filsafat
sosiopolitik.
3. Apa Manfaat Dari Ilmu?
Bila ditanya manfaat
dari ilmu, jawabannya adalah sudah tidak terhitung banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara keseluruhan. Mulai dari zamannya
Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg, ilmu terus berkembang dan memberikan banyak
manfaat bagi manusia.
Dengan ilmu manusia
bisa sampai ke bulan, dengan ilmu manusia
dapat mengetahui bagian-bagian tersembunyi dan terkecil
dari sel tubuh
manusia. Ilmu telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban manusia, tapi dengan ilmu juga
manusia dapat menghancurkan peradaban manusia yang lain.
Mengutip pendapatnya Francis
Bacon
(Suriasumantri, 1999)
yang
mengatakan
bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu akan merupakan berkat atau malapetaka bagi umat
manusia, semua itu terletak pada system
nilai dari orang yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak mengenal
sifat baik atau buruk, dan si pemilik
pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Selanjutnya Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai
landasan moral yang kuat.
Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskan kedalam
empat tahapan yaitu:
a. Untuk apa ilmu tersebut
digunakan?
b. Bagaimana kaitan antara
cara penggunaan tersebut
dengan kaidah-kaidah moral?
c. Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
d. Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral dan profesional?
Dari apa yang dirumuskan di atas dapat dikatakan bahwa
apapun jenis ilmu yang ada, seluruhnya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan
ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malah
menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan,
nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu
apakah ia sudah menjadi ilmuwan
yang baik atau belum.
Setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri
yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
disusun. Ketiga landasan
ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait
dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini
harus dikatikan dengan ontologi
dan aksiologi ilmu. Secara detail,
tidak mungkin bahasan
epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi
bahasan yang didasarkan model berpikir
sistemik, justru ketiganya
harus senantiasa dikaitkan.
Keterkaitan antara ontologi,
epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya
keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu
lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-
tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran.
Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
BAB V
PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN
TEORI
A.
Ilmplementasi Filsafat
Ilmu dalam Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebenarnya merupakan langkah-langkah sistematis yang menjamin diperoleh
pengetahuan yang mempunyai
karakteristik rasional dan empiris. Secara filosofis kedua pendekatan tersebut
mempunyai landasan yang berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan
penelitian yang didasarkan pada filsafat positivistik. Filsafat positivistik berpandangan bahwa gejala alam dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit,
teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Proses
penelitian dimulai dari proses yang
bersifat deduktif, artinya ketika menghadapi masalah langkah pertama yang dilakukan adalah mencari jawaban secara
rasional teoretis melalui kajian
pustaka untuk penyusunan kerangka berpikir. Bagi penelitian yang memerlukan hipotesis, kerangka berpikir
digunakan sebagai dasar
untuk menyusun hipotesis. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan menganalisis data. Tujuan
utama langkah ini adalah untuk menguji secara empiris hipotesis yang disusun
atau mencari jawaban
empiris sebagai jawaban
final dari masalah
penelitian. Secara operasional langkah-langkah penelitian kuantitatif sebagai berikut:
- Rumusan masalah
- Landasan teori, kajian teori,
landasan pustaka, atau kajian pustaka.
- Perumusan hipotesis
- Pengumpulan data
- Analisis data
- Simpulan
Rumusan masalah dalam suatu penelitian diangkat dari hasil pengamatan atau dengan
kata lain rumusan masalah penelitian berasal dari masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, ketika masalah ini dapat teratasi
melalui penelitian maka secara langsung hasil penelitian ini bermanfaat
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi cara pemilihan
masalah yang diangkat
dari hasil pengamatan ini sebenarnya merupakan
pelaksanaan dari teori kebenaran pragmatisme. (teori
kebenaran pragmatisme telah
dibahas sebelumnya pada bab iii).
Langkah pertama yang ditempuh dalam rangka mencari
jawaban terhadap masalah penelitian
adalah mengkaji teori-teori dan hasil
penelitian yang telah relevan. Secara fungsional kajian teori
bertujuan memperjelas masalah penelitian, sebagai
dasar menyusun kerangka berpikir dan hipotesis, serta sebagai rujukan dalam menyusun instrumen. Bagi penelitian yang menggunakan hipotesis, biasanya kajian teori
terdiri atas 4 sub bab, yaitu: deskripsi teori, hasil penelitian yang relevan,
kerangka berpikir, dan hipotesis. Deskripsi
teori mengkaji teori-teori yang terkait dengan masing-masing variabel
penelitian. Pada bagian ini peneliti
belum
menghubungkan
variabel satu dengan variabel yang lain, tetapi dalam mengkaji teori harus sudah diarahkan agar nanti dapat digunakan sebagai
dasar untuk menyusun kerangka berpikir. Pada
penelitian kuantitatif, mengkaji hasil penelitian yang relevan merupakan suatu anjuran, artinya bukan merupakan
keharusan. Di samping untuk
memperjelas masalah penelitian, kajian terhadap hasil penelitian yang relevan juga bertujuan agar tidak terjadi
penelitian replikatif. Memang penelitian replikatif tidak dilarang dengan
syarat mempunyai dasar dan tujuan
yang jelas.
Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang
hubungan beberapa variabel yang ada
dalam suatu penelitian. Kerangka berpikir yang
baik dapat menjelaskan secara rasional hubungan
antara variabel bebas dengan variabel
terikat. Kalau dalam penelitian tersebut
ada variabel moderator
atau variabel intervening maka juga harus dijelaskan keterlibatan variabel tersebut dalam penelitian. Berdasarkan uraian rasional pada kerangka berpikir
ini kemudian disimpulkan dalam bentuk kalimat
pernyataan yang menghubungkan antar variabel dalam penelitian. Simpulan dari kajian
teori ini disebut dengan hipotesis. Kalau dikaitkan dengan filsafat ilmu, kajian teori merupakan implementasi dari penggunaan teori kebenaran koherensi dalam
penelitian.
Langkah selanjutnya adalah
menguji hipotesis berdasarkan data
empiris. Syarat untuk dapat menguji
hipotesis dengan benar ada 2, yaitu: memperoleh data yang valid dan menggunakan teknik analisis yang tepat. Untuk
memperoleh data yang valid perlu desain
penelitian yang tepat dan instrumen
yang valid dan reliabel. Simpulan penelitian didasarkan pada hasil
uji empiris. Apabila hasil uji empiris tidak
sesuai dengan hipotesis bukan berarti penelitian tersebut gagal. Kalau hal ini terjadi, tugas peneliti adalah mengkaji secara teoretis tentang
berbagai kemungkinan yang menyebabkan ketidaksesuaian antara teori dengan bukti empiris.
Secara filosofis semua langkah yang ditempuh dalam rangka mengumpulkan, menganalisis data, dan menarik simpulan
berdasarkan data empiris
merupakan implementasi teori kebenaran korespondensi dalam
penelitian.
Penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang didasarkan pada filsafat postpositivisme. Filsafat postpositivisme atau yang sering disebut dengan
paradigma interpretif dan konstruktif berpendapat bahwa realitas sosial
bersifat holistik, kompleks, dinamis,
penuh makna, dan hubungan antar gejala bersifat reciprocal. Penelitian kualitatif dilakukan pada objek yang alami, tidak dimanipulasi oleh peneliti, dan kehadiran peneliti
diupayakan tidak mempengaruhi dinamika objek yang diteliti.
Prosedur penelitian kualitatif juga diawali dari masalah, namun ada perbedaan sifat masalah pada penelitian kuantitatif
dan kualitatif. Masalah pada penelitian kuantitatif bersifat pasti, jelas, dan spesifik.
Sedang masalah pada penelitian
kualitatif bersifat global, sementara, dan tentatif. Karena itu, masalah pada penelitian kualitatif dapat
berkembang atau bahkan berubah setelah peneliti berada di lapangan.
Di sini menunjukkan bahwa masalah penelitian kualitatif harus berdasarkan fakta atau pengamatan.
Langkah pertama setelah
peneliti berada di lapangan dalam rangka pengumpulan data adalah menentukan fokus penelitian. Karena masalah penelitian
masih bersifat
global maka perlu adanya pembatasan masalah yang dalam penenlitian
kualitatif disebut dengan fokus penelitian. Penentuan fokus penelitian ini dilakukan dengan
menganalisis masalah dan medan ketika
peneliti sudah berada
di lapangan. Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan fokus penelitian ada 3 hal, yaitu: tingkat kepentingan, urgensi,
dan kelayakan suatu masalah (Sugiyono, 2010: 286). Suatu masalah dikatakan
penting apabila masalah
tersebut tidak dipecahkan atau dikaji secara ilmiah akan semakin besar dampaknya dalam kehidupan sosial dan/atau menimbulkan masalah baru. Masalah
dikategorikan urgen (penting) apabila masalah tersebut
tidak segera dikaji
atau dipecahkan secara
ilmiah masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk mengatasi masalah
tersebut. Suatu masalah
dikatakan layak untuk dikaji (feasible) apabila tersedia sumber
daya dan dana untuk mengatasi
masalah tersebut. Karena belum ke lapangan, maka dalam menilai proposal
penelitian kualitatif, penentuan
fokus lebih didasarkan pada tingkat kebaruan
informasi yang akan diperoleh dari hasil penelitian tersebut.
Sesuai dengan sifat masalah penelitian yang masih
tentatif maka teori yang digunakan sebagai
acuan dalam menyusun
proposal penelitian kualitatif juga bersifat
sementara. Teori yang sifatnya sementara ini akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti selalu bergerak
dari teori ke gejala, dari
gejala ke teori. Proses reciprocalitas teori – fakta ini terus berlangsung sampai masalah dapat
dipecahkan secara rasional
dan tidak ditemukan lagi informasi yang sifatnya baru.
Dalam kaitannya dengan teori, penelitian kuantitatif dan kualitatif mempunyai perbedaan. Penelitian kuantitatif bersifat menguji
teori atau hipotesis (confirmatory), sedang penelitian kualitatif berupaya menemukan teori
(eksploratory). Tujuan akhir proses reciprocal antara teori – fakta adalah ditemukannya
teori yang dapat menjelaskan fakta. Karena itu, peneliti kualitatif disyaratkan mempunyai banyak teori yang dapat
menjelaskan gejala yang dihadapi di lapangan. Namun dalam memahami fakta di
lapangan, penelitian kualitatif menggunakan perspektif “emic”, menangkap fakta berdasarkan pemahaman
partisipan dan informan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa implementasi teori koherensi dan korespondensi pada penelitian kualitatif bersifat
reciprocal. Prespektif “emic” yang digunakan peneliti kualitatif jelas menunjukkan bahwa teori kebenaran
yang digunakan adalah
korespondensi. Kebenaran sesungguhnya adalah apa yang ada pada fakta, bahkan pada penelitian
kualitatif fakta yang dimaksud bukan fakta berdasarkan
pemahaman peneliti tetapi fakta berdasarkan pemahaman partisipan atau informan. Ketika peneliti mengkaji
fakta berdasarkan teori yang telah ada maka proses ini merupakan
implementasi teori koherensi
dalam penelitian kualitatif.
B.
Etika dalam Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayan universal yang dihasilkan manusia
yakni sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa,
sistem kemasyarakatan, kesenian,
sistem ilmu pengetahuan, dan sistem
peralatan hidup. Dalam penerapannya, ilmu pengetahuan secara otomatis menghasilkan apa yang disebut teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan, maka kita pun mengenal istilah IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Ilmu pengetahuan bersifat
teoretis dan tidak berbentuk sedangkan
teknologi bersifat praktis
dan berbentuk. Pada hakikatnya,ilmu pengetahuan dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia di bumi. Teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia
dari kesulitan-kesulitan hidupnya
yang sarat dengan keterbatasan.
Apa yang tadinya dikerjakan oleh tangan manusia telah digantikan oleh mesin
sehingga lebih efektif dan efisien.
Sebagai sebuah entitas pada dasarnya ilmu pengetahuan
bersifat independen (bebas dari nilai), tetapi di sisi lain sebagai
instrumen (alat dan proses) keberadaannya koheren, tergantung, dan diarahkan. Siapa yang mengarahkan? jawabannya tidak lain adalah manusia
sendiri sebagai subyek
ilmu pengetahuan itu sendiri. Etika memang bukan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat memerlukan adanya dimensi etis sebagai alat kontrol bagi pengembangan
iptek agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam
masyarakat. Dalam hal ini terjadi
keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat
manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawan kepada kepentingan umum,
kepentingan generasi mendatang, dan bersifat
universal.Adanya tanggung
jawab etis tidak dimksudkan untuk menghambat kemajuan
ilmu pengetahuan, tetapi
dengan adanya tanggung
jawab etis diharapkan mampu menjadi inspirasi
dan motivasi bagi manusia untuk mengembangkan teknologi
yang nantinya akan mengangkat kodrat dan martabat
manusia .
Pada hakikatnya ilmu itu mempunyai nilai netral (nol),
dengan memahami bahwa ilmu itu netral
maka ilmu pengetahuan bisa berkembang. Sehingga tidak tercampuri dengan suatu hal yang dapat menjadikan ilmu atau itu
sendiri menjadi terhambat dalam perkembangannya.
Sedangkan netral itu sendiri ada
berbagai pandangan yang pertama dalam pandangan Ontologi, yakni
masalah atau hakikat
netral itu sendiri.
Yang mempunyai ruang
lingkup tentang baik buruknya ilmu yang telah ada.
Kemudian dalam pandangan secara Epistimologi yaitu masalah bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan untuk mendapatkannya apakah sesuai atau malah menyimpang dari metode ilmiah.
Ketika seorang ahli jantung ingin meneliti tentang
jantung manusia. Ada suatu kendala apabila Dokter ini meneliti jantung
selain jantung manusia seperti jantung
simpanse misalnya, tentu
hasilnya berbeda apabila
dokter itu menggunakan jantung manusia itu. Tetapi masalahnya ada beberapa yang tidak
menyetujui hal ini, dikarenakan telah keluar dari rasa kemanusiaan. Padahal tujuan awal agar data yang diperoleh valid dan lengkap,
tetapi mereka salah
memandang hal tersebut.
Sedangkan yang terakhir adalah netralisasi dalam pandangan Aksiologi. ini menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu itu sendiri. Seperti suatu hal yang sangat disesalkan oleh Albert Einsten, karena penemuannya tentang nuklir. Ternyata manusia sebagai pengkonsumsi dari hasil temuan ilmu itu telah menyimpang atau menyalahi aturan yang ada. Padahal Einsten meneliti nuklir bukan karena dia ingin menggunakannya sebagai bom dan membunuh jutaan manusia, tetapi sebaliknya yaitu untuk kemaslahatan manusia sendiri. Tetapi manusia sendirilah sebagai pengguna yang telah salah menggunakan hasil pikiran Einstein itu.
Dampak buruk perkembangan sains dan teknologi sering dijadikan legitimasi bahwa ilmu pengetahuan atau sains tidak netral. Ada yang rancu di
sini. Antara sains dan dampak dari sains. Dampak dari sains (dan teknologi) sudah melibatkan penggunanya (manusia) yang di luar lingkup kajian sains alami. Dalam hal ini, sistem nilai bukan berpengaruh pada sains, tetapi pada perilaku manusia penggunanya. Ilmu itu ibarat pisau. Netral. Tidak ada
spesifikasi pisau Islam, pisau Kristen, pisau
kapitalis, pisau komunis, pisau tukang sayur atau pisau tukang daging. Dampak pisau bisa negatif bila digunakan untuk merusak atau membunuh. Tetapi bisa juga positif.
Misalnya contoh lain, dewasa ini, ilmu pengetahuan dihadapkan pada masalah kerusakan lapisan
ozon. Satelit mendeteksi lapisan ozon di atas antartika yang menipis yang dikenal sebagai lubang ozon.
Sains mengkaji sebab-sebabnya. Ada sebab kosmogenik (bersumber dari alam), antara lain variasi akibat aktivitas matahari. Ada sebab antropogenik
(bersumber dari aktivitas manusia). Sains juga
akhirnya menemukan sumber antropogenik itu salah satunya CFC (Chlor Fluoro Carbon) atau freon
yang banyak digunakan sebagai media pendingin kulkas dan AC (air conditioner). Kini sains menemukan bahan alternatif yang tidak merusak ozon.
Dapatkah ilmu pengetahuan dipersalahkan dan dijuluki
sains yang perusak? Karena keterbatasan ilmu manusia, tidak semua dampak dapat diperkirakan. Ketika kini diketahui
dampak buruknya, tidaklah adil untuk melemparkan tuduhan bahwa ilmu pengetahuan bersifat
merusak.
Menjadi jelas bahwa pada dasarnya nilai sains atau ilmu
itu netral. Maksud dari netral itu
adalah ilmu tidak bernilai baik atau buruk tetapi ilmu itu di antara keduanya.
Sesuai manusia yang membawa ilmu itu. Bagaimanakah menggunakannya? Untuk apa ilmu itu? Siapa yang memakai ilmu itu?
Semua pertanyaan itu salah satu bukti kenetralan ilmu. Karena terserah
manusia itu membawa ilmu itu sendiri, terserah manusia
itu bagaimana menggunakannya, dan untuk
apa ilmu yang dia dapat, dan siapapun orangnya ilmu tidak terpengaruh nilainya
tetap netral (nol).
Karena posisi ilmu pengetahuan yang netral, maka tugas para ilmuwan adalah
membangun sikap ilmiah yang berwawasan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi
dan perindustrian dalam
batasan nilai-nilai etis,
serta mendorong perilaku
adil dan membentuk
moral tanggung jawab. Ilmu pengetahuan dan teknologi dipertanggung jawabkan bukan untuk
kepentingan manusia, namun juga untuk kepentingan obyek alam sebagai sumber kehidupan.
Ilmuwan harus sadar dan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading”, yakni hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengkaitkan dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Kenyataan sesungguhnya bahwa setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga ilmu yang dihasilkan berdaya guna maksimal tanpa disertai sifat merusak demi kepentingan sesaat.
Akhirnya pemahaman terhadap
netralitas ilmu harus sampai pada titik simpul
bahwa dalam proses
mengetahui, ilmu berkembang tidak dari ruang kosong. Dalam istilah
Herman Soewardi (1999) disebut teori Adab-Karsa. Yaitu ilmuwan harus “memihak”. Memihak pada nilai kebenaran dan keadilan, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
Tuhan yang beradab, yang tidak merusak apa
yang diciptakan Tuhan untuk dirinya dan manusia pada umumnya (sejalan dengan Persaudaraan). Jangan sampai ilmu
pengetahuan dilandasi jiwa ammarah, hanya sebagai alat pelampiasan nafsu,
mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, yang akhirnya
mencelakakan dirinya, manusia lain dan
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad. (2010). Filsafat Ilmu: ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azim, Ali Abdul. (1989).
Falsafah al-Ma’rifah fi al-Qur’an
al-Karim diterjemahkan oleh Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim dengan judul: Epistimologi dan Aksiologi Ilmu Persfektif al-Qur’an. Jakarta: Rosda Bandung.
Bagus, Lorens, (2005) Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Agama 1, Jilid I. Cet.
I; Pamulung Timur, Ciputat: Lolos
Wacana Ilmu, 1997.
Bakhtiar,
Amsal (2006) Filsafat Ilmu, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta Bakker,
Anton. (1986). Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Bertens, K. (1990). Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K. (1988).
Panorama Filsafat Barat. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K. (1995). Ringkasan
Sejarah Filsafat. (Edisi Revisi. Cet. XIII; Yogyakarta: Kanisius.
Capra, Fritjop,
(1998), Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan
.Kebudayaan, Terjemahan M. Thoyibi,
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Chalmers. A.F. (1983). What is this Thing Called. Diterjemahkan oleh Tim Hasta Mitra dengan
judul: Apa Itu Ilmu, Jakarta:
Hasta Mitra.
Drajat, Amroeni.
(2006). Filsafat
Islam Buat yang Pengen
Tahu, Jakarta: Erlangga. Fakhri, Majid. (2006). A History
of Islamic Philosophy diterjemahkan oleh R. Mulyadi
Kertanegara
dengan judul:
Sejarah Filsafat Islam. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Gazalba,
Sidi. (1973).
Sistematika Filsafat. Jakarta:
Bulan Bintang.
Gemon, Howard A. & Craver,
Samuel M. (1995).
Philosophical Foundations of Education, ed
5. New Jersey: Merill Publishing Company.
Gie, The Liang.
(1997), Pengantar Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty.
Hadi, Hardono., Jatidiri Manusia;
Berdasar Filsafat Empirisme
Whitehead,
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Hadiwijono, Harun. (1992). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:
Kanisius. Hamersma, Harry. (1990). Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hanafi, Ahmad. (1991). Pengantar Filsafat
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hart, Michael
H. (1993). The 100 A Rangking of the Most
Influential Persons in History. Diterjemahkan
oleh Mahbub Junaidi dengan judul: Seratus
Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Hoodboy, Pervez.
(1996). Islam and Sceinces, Religious Orthodoxy and the Battle
for Rationality diterjemahkan oleh Sari Meutia dengan judul: Ikhtiar
Menegakkan Rasionalitas: Antara Sains dan Ortodok Islam. Bandung: Mizan.
Ismaun, (2001),
Filsafat Ilmu, Materi Kuliah,
Bandung (Terbitan Khusus).
Jalaluddin dan Abdullah
Idi, (1997) Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media
Pratama.
Janik, Allan & Toulmin, Stephen. (1973). Wettegnstein’s
Winna. New York: Simon & Schuster.
Kattsof, Louis O. (1989). Elements of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul: Pengantar Filsafat, Cet. IV; Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Kuhn, Thomas S, (2000), The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam
Revolusi Sains, Terjemahan Tjun Surjaman, Bandung:
Rosda).
Little, John. (1996). Theories of Human Communication. Ohio: Charles E. Merril Company.
Losee, John. (2001). A Historical Introduction to the Philosophy of Science, New York: Oxford University.
Melsen, A.G.M.
Van. (1992).
Wetenschap
en Verantwoordelijkheid, diterjemahkan oleh K. Bertens dengan judul: Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Muhadjir, Noeng. (2001). Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nasr,
Sayyed Hossen.
(1985). Why
Was al-Farabi Called the Second Teacher
dalam
Islamic Culture, 59/4. Tt: Tp.
Nasution, Harun. (1992). Falsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Preus, Anthony.
(2007). Historical Dictionary of Ancient Greek
Philosophy.
Lanham, Maryland, Toronto,
Plymouth: The Scarecrow
Press, Inc.
Popper,
Karl. (2000). Realism and The Aim of
Science. London: Routledge. Rakhmat, Cece. (2010). Membidik Filsafat
Ilmu. Modul Kuliah Filsafat Ilmu SPS
UPI Bandung.
Rosenberg, Alex. (2010). Philosophy of Science A contemporary Iintroduction.
New york: Routledge.
Russel,
Bertrand. (1961). History of Western
Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest
Times ti the Present Days.
London: George Allen &
Unwin Ltd.
Salam, Burhanuddin. (2000).
Sejarah filsafat ilmu dan teknologi. Bandung: Rineka Cipta.
Salam, Burhanuddin. (1988). Pengantar
Filsafat. Jakarta: Bina Aksara.
Shah, A.B. (1986). Scientific
Method diterjemahkan oleh Hasan Basari dengan judul: Metodologi
Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Yayasan
Obor.
Sharif. M.M. (1962).
History of Muslim Philossophy. Weisbaden: Tp.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif
dn R&D, Cet. III; Bandung: Alfabeta.
Suriasumantri, Jujun, S. (1999). Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Supple, Frederick. (1974).
The Sturucture of Scientific Teories, Urbana: University of Illionis Press.
Susanto. (2011). Filsafat Ilmu (Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis ).
Jakarta: Bumi Aksara.
Syadali, Ahmad & Mudzakir.
(1997). Filsafat Umum, Bandung; Pustaka Setia. Tafsir,
Ahmad. (1990). Filsafat Umum, pengantar Filsafat, akal dan hati sejak
Thales sampai Capra. Bandung:
Rosdakarya.
Tim Redaksi Driya karya (1993). Hakikat Ilmu Pengetahuan
dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Titus,
Harold H. et al. (1984). The Living Issues of Philosophy,
diterjemahkan oleh H.M.Rasyidi dengan
judul: Persoalan-Persoalan Filsafat.
Jakarta: Bulan Bintang.
Velasquez, Manuel. (1996).
Philosophy; A Text With Reading. Yogyakarta: Kanisius.
Verhaak, C., dkk. (1995).
FIlsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.
Verhaak C. & Imam, R. Haryono. (1991).
Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah
Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu. Cet. II. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Veursen, Van. (1985). De Ovbouw van de Wetenschap een inleiding in de Wetenschapsleer. Diterjemahkan oleh J.Drost
dengan judul: Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu.
Jakarta: Gramedia.
Wattimena, Reza A.A. (2008). Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Grasindo.
Zubair, Ahmad Charis.
(2002). Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia;Kajian Filsafat Ilmu, Yogyakarta: LESFI.
Komentar
Posting Komentar