Filsafat Imu

 

 

A.   Deskripsi Mata Kuliah

Dalam mata kuliah ini akan dikaji konsep dasar tentang filsafat ilmu, kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsinya. Berikutnya dibahas pula tentang karakteristik filsafat, ilmu dan pendidikan serta jalinan fungsional antara ilmu, filsafat dan agama. Selanjutnya dibahas mengenal sistematika, permasalahan, keragaman pendekatan dan paradigma (pola pikir) dalam pengkajian dan pengembangan ilmu dan dimensi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Kemudian dikaji mengenai makna, implikasi dan implementasi filsafat ilmu sebagai landasan dalam rangka pengembangan keilmuan dan kependidikan dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kualitatif, kuantitatif, maupun perpaduan keduanya.

 

B.  Tujuan Mata Kuliah

Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan peserta pendidikan memiliki kemampuan: 1) Memahami konsep dasar filsafat ilmu, kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsinya untuk dapat dijadikan landasan pemikiran, perencanaan dan pengembangan ilmu dan pendidikan secara akademik dan profesional; 2) Mampu memahami filsafat ilmu untuk mengembangkan diri sebagai ilmuwan maupun sebagai pendidik dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kualitatif, kuantitatif, maupun perpaduan keduanya dalam konsentrasi bidang studi yang menjadi minat utamanya; 3) Mampu menerapkan filsafat ilmu sebagai dasar pemikiran, perencanaan dan pengembangan khususnya landasan keilmuan dan landasan pendidikan yang dijiwai nilai-nilai ajaran agama dan nilai- nilai luhur budaya masyarakat Indonesia yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara serta umat manusia dalam pemahaman dan perkembangan lingkungan dinamika global.

 

C.     Pokok-pokok Perkuliahan

I.       PENGERTIAN FILSAFAT

1.       Arti istilah dan rumusan filsafat

2.       Objek studi dan metode filsafat

3.       Bidang kajian filsafat: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

4.       Klasifikasi filsafat

5.       Cabang-cabang filsafat

6.       Jalinan ilmu, filsafat dan agama.

II.     PENGERTIAN FILSAFAT ILMU

1.      Definisi filsafat ilmu 

2.      Cakupan dan permasalahan filsafat ilmu

3.      Berbagai pendekatan filsafat ilmu

4.      Sejarah dan Perkembangan filsafat ilmu

5.      Fungsi dan arah filsafat ilmu


III.  SUBSTANSI FILSAFAT ILMU

1.       Kenyataan atau fakta

2.       Kebenaran

3.       Konfirmasi

4.       Logika Inferensi

5.       Telaah konstruksi teori

IV.  DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU

1.      Dimensi Ontologis

2.      Dimensi Epistemologis

3.      Dimensi Aksiologis

V.     PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN TEORI

1.      Pengembangan teori dan alternatif metodologinya.

2.      Etika dalam Pengembangan Ilmu dan Teknologi

3.      Jalinan fungsional Agama, Filsafat dan Ilmu.

4.      Implikasi dan Implementasi Filsafat Ilmu dalam pengembangan Keilmuan dan Kependidikan.


 Bab I 

Pengertian Filsafat


 A.   Arti Istilah dan Rumusan Filsafat

Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philein (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia atau shopos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman praktis inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.

Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002).

Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup:

(1)    norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.

Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).

Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (definisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.

Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof   adalah:

1)     Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.

2)     Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.

3)   Upaya untuk menentukan batsa-batas danjangkauan pengetahuan sumber daya hakikatnya, keabsahahannya dan  nialinya.

4)     Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.

5)    Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu seseorang melihat apa yang  dikatakannya dan untuk menyatakan apa yang dilihatnya.

Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefinisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.

Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan:

1.    Apakah yang dapat kita ketahui? Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika.

2.    Apakah yang seharusnya kita kerjakan? Jawabannya termasuk dalam bidang etika.

3.    Sampai di manakah harapan kita? Jawabannya termasuk pada bidang agama.

4.    Apakah yang dinamakan manusia itu? Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.

Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:

1)       Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagiaan dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.

2)       Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.

3)       Spekulatif: dalam menyusun lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.

Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan terkenal dianggap memiliki ketiga karakteristik di atas. Ada banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya percaya pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian terdahulu seperti logika aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak, cahaya, dan struktur kosmos. “Saya tidak mendefinisikan ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana yang diketahui banyak orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada keparipurnaan, yang ada hanya pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah selesai. “kutekuni sebuah subjek secara terus menerus dan kutunggu sampai cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai betul-betul terang”.

 

B.   Objek Studi dan Metode Filsafat

1.  Objek Studi Filsafat

Menurut Susanto (2011), isi Filsafat ditentukan oleh objek yang dipikirkan. Objek sendiri adalah sesuatu yang menjadi bahan dari kajian dari suatu penelaahan/penelitian tentang pengetahuan.Objek yang diselidiki oleh filosof meliputi objek material dan objek formal.

Objek material dari filsafat adalah suatu kajian penelaahan atau pembentukan pengetahuan itu,yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada,mencakup segala hal,baik hal-hal yang kongkret/nyata maupun hal-hal yang abstrak atau tak tampak. Mengenai objek material filsafat ini banyak kesamaan dengan objek material sains. Hanya terdapat dua perbedaan, yaitu pertama sains menyelidiki objek material yang empiris, sementara filsafat ilmu menyelidiki bagian objek yang abstrak. Kedua, ada objek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari kiamat, yaitu objek material yang selamanya tidak empiris.

Jadi, dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa objek filsafat meliputi beberapa hal, atau dengan kata lain objek filsafat ini tak terbatas. Begitu luasnya kajian atau objek filsafat ini menyangkut hal-hal yang fisik atau nampak maupun psikis atau yang tidak nampak. Ini meliputi alam semesta, semua keberadaan, masalah hidup dan masalah manusia. Sedangkan hal-hal yang psikis (non fisik) adalah masalah Tuhan, kepercayaan, norma-norma, nilai, keyakinan, dsb.

Sedangkan objek formal, yaitu sifat penelitian, penyelidikan yang mendalam.Kata mendalam berarti ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Menurut Lasiyo dan Yuwono (1985: 6), objek formal adalah sudut pandang yang menyeluruh secara umum sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materialnya. Jadi objek formal filsafat ini membahas objek materialnya sampai ke hakikat/esensi dari yang dibahasnya.

Dewasa ini, corak dan ragam ilmu pengetahuan sangatlah banyak. Corak dan ragam yang berbeda-beda ini timbul karena adanya perbedaan cara pandang dalam memahami objek ilmu pengetahuan. objek ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Inti pembahasan atau pokok persoalan dan sasaran material dalam ilmu pengetahuan sering disebut sebagai objek material ilmu pengetahuan. Sedangkan cara pandang atau pendekatan-pendekatan terhadap objek material ilmu pengetahuan biasa disebut sebagai objek formal. Dari berbeda-bedanya objek ilmu pengetahuan ini, timbullah ragam dan corak ilmu pengetahuan. Dengan mengetahui objek material dan objek formal ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui bidang keilmuan apakah yang dimungkinkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan permasalahan yang kita miliki.

2.  Metode Filsafat

Metode berasal dari kata Yunani Methodos, sumbangan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah), dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah). Kata Methodos sendiri berarti penelitian, jalan ilmiah, hipotesa ilmiah. Sehingga dapat disebutkan bahwa metode adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. Maksud metode adalah agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah, agar mencapai hasil optimal (Bakker, 1986).

Metode dan filsafat mempunyai hubungan erat, karena secara tidak langsung filsafat membutuhkan metode untuk mempermudah dalam berfilsafat. Untuk mempelajari filsafat ada tiga macam metode: (1) metode sistematis, (2) metode historis, dan (3) metode kritis.

Menggunakan metode sistematis, berarti seseorang menghadapi dan mempelajari karya filsafat. Misalnya mula-mula ia menghadapi teori pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat, setelah itu ia mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang lain. Kemudian ia mempelajari teori nilai atau filsafat tatkala membahas setiap cabang atau cabang itu, aliran-aliran akan terbahas. Dengan belajar filsafat melalui metode ini perhatiannya terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh atau pun periode.

Adapun metode historis digunakan apabila seseorang mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarah, terutama sejarah pemikiran. Metode ini dapat dilakukan dengan membicarakan tokoh demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah, misalnya dimulai dari membicarakan filsafat Thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, lantas dalam teori pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai. Lantas setelah mengetahui Thales dari mulai pemikiranya, dilanjutkan lagi misalnya Heraklitus, Pramendes, Sokrates, Demokritus, Plato, dan tokoh-tokoh lainnya (Suryabrata, 1987).

Metode kritis digunakan oleh orang yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Pengguna metode ini haruslah sedikit-banyak telah memiliki pengetahuan filsafat, langkah pertama dengan memahami isi ajaran, kemudian mengajukan kritiknya. Kritik itu dapat menggunakan pendapatnya sendiri atau pun menggunakan filsafat/pemikiran lain (Tafsir, 1990).

 

C.   Bidang Kajian Filsafat: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Louis O. Katsoff dalam bukunya Elements of Philosophy menyatakan bahwa kegiatan filsafat merupakan perenungan, yaitu suatu jenis pemikiran yang meliputi kegiatan meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan yang lainnya, menanyakan ”mengapa”’ mencari jawaban yang lebih baik ketimbang jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai perenungan mengusahakan kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan. Berdasarkan tujuan tersebut, terdapat tiga bidang kajian filsafat yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.

Ontologi adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut Stephen Little John (1996), ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Metode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sekaligus sistematis dan logis.

Aksiologis adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika. Little John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai).

 

D.   Klasifikasi Filsafat

Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Islam”.

1.  Filsafat Barat

Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh: jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat).

Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni:

(a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ”ada” atau being (ontologi), (b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistemologi dalam arti luas), (c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).

Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:

1)      Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ”metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.

2)      Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ”kritik” yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman inderawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat, dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan khusus.

3)      Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dIlahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil- dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: res extensa dan res cogitans”.

2.  Filsafat Timur

Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, nusantara, dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat an sich masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.

Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina, sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut (Takwin, 2001).

Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke filsafat timur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir, 2005). Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene Descartes dan William Ockham.


3.  Filsafat Islam

Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani). Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi.

Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam (Haerudin, 2003).

Majid Fakhri (2006) cenderung menganggap filsafat Islam sebagai mata rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam. Dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:

1)      Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).

2)      Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.

3)      Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.

4)      Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.

Dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam, sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa Ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak Ilahi) akan mendorong manusia untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.


E.   Cabang-cabang Filsafat

Filsafat itu selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu yang tertentu karena filsafat bertanya tentang seluruh kenyataan. Contohnya filsafat tentang manusia, filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat seni, filsafat agama, filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan dan seterusnya. Seluruh jenis filsafat tersebut dapat dikembalikan lagi kepada empat bidang induk, seperti dalam skema ini.


Tabel 1.1. Skema Kajian Filsafat





 

Epistemologi

:

pengetahuan tentang pengetahuan

Logika

:

menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya berpikir sehat

Kritik ilmu-ilmu

:

menyelidiki titik pangkal, metode dan objek dari ilmu-ilmu

Ontologi

:

pengetahuan tentang “semua pengada sejauh merekaada”

Teologi metafisik

:

(disebut juga teodise atau filsafat ketuhanan) berbicaratentang pertanyaan apakah Tuhan ada dan nama-nama tentang Ilahi

Antropologi

:

berbicara tentang manusia

Kosmologi

:

(disebut juga filsafat alam) berbicara tentang alam, kosmos

Etika

:

(disebut juga filsafat moral) berbicara tentang tindakan manusia

Estetika

:

(disebut juga   filsafat   seni)   menyelidiki   mengapa sesuatu dialami sebagai indah

Sejarah filsafat

:

mengajarkan apa jawaban pemikir-pemikir sepanjang zaman

 

Tidak semua ahli filsafat setuju dengan pembagian seperti yang diuraikan di atas. Ada filsuf yang menyangkal kemungkinan ontologi atau seluruh metafisika.  Namun pembagian ini adalah skema yang paling klasik dan paling umum diterima.

 

F.  Jalinan Ilmu, Filsafat dan Agama

Sebelum membahas bagaimana jalinan antara ilmu, filsafat dan agama, alangkah baiknya apabila kita mencoba kembali mengungkap definisi dari ilmu, filsafat dan agama tersebut walaupun sebenarnya sulit sekali mengungkap sebuah definisi karena biasanya dipengaruhi oleh perbedaan sudut pandang orang yang akan membuat definisi tersebut. Demikian yang diungkapkan Juhaya (2005) ketika akan memberikan definisi-definisi tentang ilmu, filsafat dan agama.

Dalam bukunya yang berjudul Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Juhaya membuat definisi tentang ilmu, filsafat dan agama. Menurutnya yang dimaksud dengan ilmu adalah sesuatu yang melekat pada manusia di mana ia dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui. Jadi secara umum sebenarnya ilmu itu berarti tahu/pengetahuan. Seseorang yang banyak ilmunya bisa dikatakan sebagai seorang ilmuwan, ulama, ahli pengetahuan dan sebagainya. Pada dasarnya ilmu/pengetahuan mempunyai tiga kriteria, yaitu: (a) adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran; (b) persesuaian antara gagasan itu dengan benda-benda sebenarnya; dan (c) adanya keyakinan tentang persesuaian itu.

Filsafat mempunyai arti yang diambil dari kata philosophia, kata majemuk yang terdiri dari kata Philos yang artinya cinta atau suka dan shopia artinya bijaksana. Dengan demikian kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut philosopher atau failasuf. Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam diantaranya yang diungkapkan Al- Farabi (wafat 950 M) seorang filsuf Muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat sebenarnya.

Agama memiliki arti yang berasal dari bahasa sansakerta yaitu a-gama, a=tidak; gama=kacau; agama berarti tidak kacau. Dalam arti luas agama mempunyai makna bahwa manusia yang beragama atau menjalankan aturan agama maka hidupnya tidak akan kacau balau.

Lalu bagaimana sebetulnya jalinan antara ilmu, filsafat dan agama? Marilah kita kaji dimana titik temu antara ilmu dengan filsafat dan titik temu antara agama dan filsafat. Ada beberapa hal dimana filsafat dan ilmu pengetahuan dapat saling bertemu. Dalam beberapa abad terakhir, filsafat telah mengembangkan kerja sama yang baik dengan ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi fakta- fakta dunia dan kehidupan. Keduanya menunjukkan sikap kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak, untuk mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang teratur.

Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat, ilmu pengetahuan juga melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangakan ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Sementara filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Sebagai contoh tentang konsep evolusi mendorong kita untuk meninjau kembali pemikiran kita hampir dalam segala bidang.

Kesimpulannya kontribusi lebih jauh yang diberikan filsafat terhadap ilmu pengetahuan adalah kritik tentang asumsi, postulat ilmu dan analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai. Ilmu dan filsafat kedua-duanya memberikan penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari objeknya masing-masing. Banyak filsuf yang mendapat pendidikan tentang metode ilmiah dan mereka saling memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu.

Dalam perjalanannya, filsafat dengan ilmu juga terkadang memiliki pertentangan pada kecondongan atau titik penekanan, bukan pada penekanan yang mutlak. Penekanan itu dapat dilihat dari perbedaan-perbedaan berikut ini, yaitu:

·      Ilmu-ilmu tertentu menyelidiki bidang-bidang yang terbatas, sedangkan filsafat mencoba melayani seluruh manusia dan lebih bersifat inklusif tidak ekslusif;

·      Ilmu lebih analitik dan lebih deskriptif, sedangkan filsafat lebih sintetik dan sinoptik;

·      Ilmu menganalisis seluruh unsur yang menjadi bagian-bagiannya; sedangkan filsafat berusaha untuk mengembangkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif;

·      Jika ilmu berusaha untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi, sedangkan filsafat lebih mementingkan personalitas, nilai-nilai dan juga bidang pengalaman;

·      Ilmu lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan objektif, sedangkan filsafat bersifat radikal dan subjektif;

Adapun titik temu antara agama dan filsafat adalah baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud di sini adalah agama Samawi, yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan rasul-Nya.

Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam agama ada hal-hal yang penting, misalnya Tuhan, kebijakan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lain-lain. Hal-hal tersebut diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada-atau paling tidak-mungkin ada, karena objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada.

Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, melainkan penyelidikan sendiri, hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Tegasnya akan kita lihat perbedaan-perbedaan antara agama dan filsafat sebagai berikut:

·      Filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan agama berdasarkan wahyu Ilahi, oleh karena itu agama sering juga disebut kepercayaan alasannya karena yang diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai;

·      Dalam filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki, manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin, sedangkan dalam agama untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan harus menerima (baca: iman atau percaya) hal-hal yang diwahyukan Tuhan.

·      Agama beralatkan kepercayaan, sedangkan filsafat berdasarkan penelitian.

Demikianlah antara ilmu, filsafat dan agama sebenarnya mempunyai jalinan dan saling berhubungan satu sama lain yang memiliki kesamaan yaitu mencari hakikat kebenaran, meski ada beberapa perbedaan terutama yang berkaitan dengan objek forma, sumber, cara pandang, hasil serta alat ukurnya.

Titik temu dari ketiga disiplin itu adalah bahwa ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman inderawi kemudian filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakikat kebenaran dan agama menentukan arah dalam mendapatkan kebenaran yang hakiki itu berlandaskan pada keyakinan dan keimanan.

 

 BAB II PENGERTIAN FILSAFAT ILMU

A.   Definisi Filsafat Ilmu

Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisamenjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).

Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata ilmu atau science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu berasal dari kata ilm, alima yang artinya mengetahui.

Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme–positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).

Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana ”pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri dianalagikan sebagai pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu. Sehingga dapat dikatakan filsafat membantu dan memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.

Semua ilmu, baik ilmu alam maupun sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642- 1627) pencetus banyak hukum fisika dikatakan sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi penulis The Wealth Of Nation (1776) disebut sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.

Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisik dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika.

Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on=being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong pra-ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).

Tabel 2.1. Ragam Pengetahuan Manusia

 

Pengetahuan

Objek

Paradigma

Metode

Kriteria

Sains

Empiris

Sains

Metode ilmiah

Rasional empiris

Filsafat

Abstrak rasional

Rasional

Metode rasional

Rasional

Mistis

Abstrak suprarasional

Mistis

Latihan percaya

Rasa, iman, logis, kadang empiris

Sumber: Tafsir (2006). Filsafat Ilmu

Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang pra-ilmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.


B.     Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat Ilmu

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara umum (Adib, 2010: 53).

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “keraguan”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan ke mana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

Jadi, dapat dikatakan bahwa objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.

C.   Cakupan dan Permasalahan Filsafat Ilmu

Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia.

Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah?

Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusia pun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.

Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita ‘kapling-kapling’ dalam berbagai displin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkembangan kuatitatif displin keilmuan. Kalau pada fase permualaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka sekarang ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan.


1.  Ruang Lingkup Filsafat Ilmu

Filsafat Ilmu sampai tahun sembilan puluhan telah berkembang begitu pesat sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang amat luas dan begitu mendalam. Lingkupan filsafat ilmu berkembang begitu pesat sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang amat luas dan mendalam. Lingkupan filsafat ilmu sebagaimana telah dibahas oleh para pakar filsafat kontemporer, dapat dikemukakan secara ringkas seperti di bawah ini.

Menurut Peter Angeles (1981: 250), filsafat ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi utama: (1) Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan metode Ilmu, berikut analisis, perluasan dan penyusunannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat; (2) Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut struktur perlambangnya; (3) Telaah mengenai kaitan diantara berbagai ilmu; (4) Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan pencerapan dan pemahaman manusia terhadap realitas, hubungan logika dan matematika dengan realitas, entitas teoritis, sumber dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan.

A.   Cornelius Benjamin (Runes, ed., 1975: 284-285) membagi pokok soal filsafat ilmu dalam tiga bidang: (1) Telaah mengenai metode ilmu, lambing ilmiah, dan struktur logis dari sistem perlambang ilmiah. Telaah ini banyak menyangkut logika dan teori pengetahuan, dan teori umum tentang tanda; (2) Penjelasan mengenai konsep dasar, praanggapan, dan pangkal pendirian ilmu, berikut landasan-landasan dasar empiris, rasional, atau pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya. Segi ini dalam banyak hal berkaitan dengan metafisika, karena mencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai dunia kenyataan, keseberagaman alam, dan rasionalitas dari proses ilmiah; (3) Aneka telaah mengenai saling kait diantara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta seperti misalnya idealisme, materialisme, monisme dan pluralisme.

Arthur Danto (1967: 296-297) menyatakan, “lingkupan filsafat ilmu cukup luas mencakup pada kutub yang satu, yaitu,persoalan-persoalan konsep yang demikian erat bertalian dengan ilmu itu sendiri, sehingga pemecahannya dapat seketika dipandang sebagai suatu sumbangan kepada ilmu daripada kepada filsafat, dan pada kutub yang lain persoalan-persoalan begitu umum dengan suatu pertalian filasafati sehingga pemecahannya akan sebanyak merupakan suatu sumbangan kepada metafisika atau epistimologi seperti kepada filsafat ilmu yang sesungguhnya. Begitu pula, rentangan masalah- masalah yang diselidiki oleh filsuf-filsuf ilmu dapat demikian sempit sehingga menyangkut keterangan tentang sesuatu konsep tunggal yang dianggap penting dalam suatu cabang ilmu tunggal, dan begitu umum sehingga bersangkutan dengan ciri-ciri struktural yang tetap bagi semua cabang ilmu yang diperlakukan sebagai suatu himpunan.

Edward Madden (19968: 31) berpendapat bahwa apapun lingkup filsafat umum, tiga bidang tentu merupakan bahan perbincangannya yaitu: (1) Probabilitas; (2) Induksi; (3) Hipotesis.

Ernest Nagel (1974: 14) menyimpulkan bahwa filsafat ilmu mencakup tiga bidang luas: (1) Pola logis yang ditunjukkan oleh penjelasan dalam ilmu.

(2)    Pembentukan konsep ilmiah. (3) Pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah.

Menurut P. H. Nidditch (1971: 2) lingkupan filsafat ilmu luas dan beraneka ragam. Isinya dapat digambarkan dengan mendaftar serangkaian pembagian dwi bidang yang saling melengkapi: (1) Logika ilmu yang berlawanan dengan epistimologi Ilmu. (2) Filsafat ilmu-ilmu kealaman yang berlawanan dengan filsafat ilmu-ilmu kemanusiaan. (3) Filsafat ilmu yang berlawanan dengan telaah masalah-masalah filsafati dari suatu ilmu khusus. (4) Filsafat ilmu yang berlawanan dengan sejarah ilmu. Selain itu, telaah mengenai hubungan ilmu dengan agama juga termasuk filsafat ilmu.

Israel Scheffler (1969: 3) berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Lingkupannya mencakup tiga bidang: (1) Menelaah hubungan- hubungan antara faktor-faktor kemasyarakatan dan ide-ide ilmiah. (2) Berusaha melukiskan asal mula dan struktur alam semesta menurut teori-teori yang terbaik dan penemuan-penemuan dalam kosmologi. (3) Menyelidiki metode umum, bentuk logis, cara penyimpulan, dan konsep dasar dari ilmu-ilmu.

J.J.C. Smart (1968: 5) menganggap filsafat ilmu mempunyai dua komponen utama: (1) Bahan analitis dan metodologis tentang ilmu. (2) Penggunaan ilmu untuk membantu pemecahan problem-problem filsafati.


Menurut Marx Wartofsky (1963: vii), rentangan luas dari soal-soal interdispliner dalam filsafat ilmu meliputi: (1) Perenungan mengenai konsep dasar, struktur formal, dan metodologi Ilmu; (2) Persoalan-persoalan ontologi dan epistemologi yang khas bersifat filasafati dengan pembahasan yang memadukan peralatan analitis dari logika modern dan model konseptual dari penyelidikan ilmiah.

Akhirnya untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai ruang lingkup dan topik persoalan dari filsafat ilmu dewasa ini, berikut dikutipkan rincian lengkap yang dikemukakan dalam Encyclopedia Britannica, 15 th Edition (1982: 728-729).

1)     Sifat dasar dan lingkupan filsafat ilmu dan hubungannya dengan cabang- cabang ilmu lain; aneka ragam soal dan metoda-metoda hampiran terhadap filsafat ilmu.

2)     Perkembangan Historis dari filsafat Ilmu

i.      Masa-masa purba dan abad pertengahan: pandangan-pandangan yang silih ganti berbeda dari aliran-aliran kaum Stoic dan Epicorus serta penganut-penganut Plato dan Aristoteles.

ii.    Abad XVII: perbincangan mengenai metodologi ilmiah; hampiran induktif dari Bacon dan hampiran deduktif dari Descartes.

iii.  Abad XVIII: Kaum empiris, rasionalis, dan tafsiran penganut Kant mengenai fisika Newton.

iv.  Sejak awal abad XIX samapai Perang Dunia I: pengaruh dari keyakinan Kant dalam rasionalitas khas perpaduan klasik antara Euclid dan Newton

v.    Perbincangan abad XX: tanggapan terhadap relativitas, mekanika kuantum, dan perubahan-perubahan mendalam lainnya dalam ilmu-ilmu kealaman; Positivisme Logis lawan Neo-Kantianisme

3)    Unsur-Unsur Usaha Ilmiah

i.    Unsur-unsur empiris, konseptual, dan formal serta tafsiran teoritisnya; aneka ragam pandangan mengenai pentingnya secara relatif dari pengamatan, teori dan perumusan matematis.

ii.   Prosedur empiris dari ilmu

(a)      Pengukuran; teori dan problem filasafati mengenai penentuan hubungan-hubungan kuantitatif

(b)      Perancangan percobaan: penerapan logika induktif dan asas-asas teoritis lainnya pada prosedur praktis.

iii.  Penggolongan: problem taksonomi

(a)       Struktur formal ilmu: problem menyusun suatu analisis formal secara murni dari penyimpulan ilmiah; perbedaan antara dalil ilmiah dan generalisasi empiris.

(b)      Perubahan konseptual dan perkembangan ilmu: problem kesejarahan mengenai organisasi teoritis dari ilmu yang berubah.


4)     Gerakan-gerakan pemikiran ilmiah: prosedur dasar dari perkembangan intelektual dari ilmu

i.      Penemuan ilmiah; kedudukan terujung dari formalisme yang menekankan unsur-unsur rasional dari penemuan ilmiah, dan dari irrasionalisme yang menekankan peranan ilham, perkiraan, dan kebetulan

ii.    Pembuktian keabsahan dan pembenaran dari konsep dan teori baru: pandangan bahwa peramalan merupakan ujian yang menentukan dari keabsahan ilmiah; pandangan bahwa pertautan, keajegan, dan keseluruhan merupakan persyaratan penting dari suatu teori ilmiah

iii.  Penyatuan teori-teori dan konsep-konsep dari ilmu-ilmu yang terpisah: usaha menyusun suatu sistem aksiomatis bagi semua ilmu kealaman; problem penyederhanaan untuk mencapai suatu landasan konseptual yang ajeg bagi dua atau lebih ilmu

5)    Kedudukan filsafat dari teori ilmiah

i.      Kedudukan proposisi ilmiah dan konsep dari entitas: pandangan- pandangan aneka ragam mengenai kedudukan epistemologi dari proporsi ilmiah dan mengenai kedudukan dari konsep ilmiah

ii.    Hubungan antara analisis filsafat dan praktek ilmiah: penerapan dari ajaran-ajaran filasafati dan hampiran-hampiran yang berlainan pada ilmu- ilmu yang berbeda

6)     Pentingnya pengetahuan ilmiah bagi bidang-bidang lain dari pengalaman dan soal manusia: kepentingan sosial dari ilmu dan sikap ilmiah; keterbatasan usaha manusia

7)     Hubungan antara ilmu dan pengetahuan humaniora: persoalan tentang perbedaan antara metodologi ilmiah dan metodologi humaniora.

Berdasarkan perkembangan filsafat ilmu sampai dewasa ini, ahli filsafat sejarah John Loose (2001: 1-3) menyimpulkan bahwa filsafat ilmu dapat digolongkan menjadi empat konsepsi: (1) Filsafat ilmu yang berusaha menyusun pandangan-pandangan dunia yang sesuai atau berdasarkan teori-teori ilmiah yang penting; (2) Filsafat ilmu yang berusaha memaparkan praanggapan dan kecendrungan para ilmuwan (misalnya praanggapan bahwa alam semesta mempunyai keteraturan); (3) Filsafat Ilmu sebagai suatu cabang pengetahuan yang menganalisis dan menerangkan konsep dan teori dari ilmu; (4) Filsafat ilmu sebagai pengetahuan kritis derajat kedua yang menelaah ilmu sebagai sasarannya.

Dalam tingkat konsepsi Losee pengetahuan manusia mengenal tiga tingkatan: Tingkat 0 : Fakta-fakta

Tingkat 1 : Penjelasan mengenai fakta-fakta dan ini dijelaskan oleh ilmu

Tingkat 2 : Analisis mengenai prosedur dan logika dari penjelasan ilmiah. Ini merupakan bidang filsafat ilmu. Filsafat ilmu sebagai pemikiran tingkat 2 melakukan analisis-analisis terhadap ilmu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:


1)     Ciri-ciri apakah yang membedakan penyelidikan ilmiah dari ragam-ragam penyelidikan lainnya?

2)     Prosedur apakah yang harus ditempuh para ilmuwan dalam menyelidiki alam?

3)     Persyaratan apakah yang harus dipenuhi agar suatu penjelasan ilmiah betul?

4)     Apakah kedudukan kognitif dari dalil dan asas ilmu?

Selain pembagian filsafat ilmu menurut Losee dalam empat konsepsi tersebut di atas, beberapa filsuf mempunyai konsepsi dikotomi yang membedakan filsafat ilmu dalam dua bagian. Dua pembagian paling umum dikemukakan oleh antara lain Arthur Pap (1967: vii). Menurutnya untuk menghindarkan kekacauan, filsafat ilmu perlu dibedakan menjadi: (1) Filsafat ilmu-seumumnya. Filsafat ilmu ini menelaah konsep-konsep dan metode-metode yang terdapat dalam semua ilmu, misalnya pengertian penjelasan, generalisasi induktif, dan kebenaran; (2) Filsafat ilmu-ilmu khusus, seperti misalnya filsafat fisika atau filsafat psikologi. Masing-masing filsafat ilmu khusus itu menangani konsep-konsep yang khusus berlaku dalam lingkupannya masing-masing seperti misalnya unsur-unsur waktu dan gaya dalam fisika, realitas obyektif dalam mekanika kuantum, variabel sela dalam psikologi, dan penjelasan teologis dalam biologi.

Mirip dengan dikotomi dari Pap itu ialah dwi pembagian Michael Scriven (1968: 84) dalam substantive philosophy of science dan structural philosophy of science. Filsafat ilmu substansif berkaitan dengan isi masing-masing ilmu khusus, sedang filsafat ilmu struktural menyangkut topik-topik seperti penyimpulan ilmiah, penggolongan, penjelasan, peramalan, pengukuran, probabilitas, dan determinisme.


2.  Problem-Problem Dalam Filsafat Ilmu

Filsafat sebagai suatu ilmu khusus merupakan salah satu cabang dari ruang lingkup filsafat ilmu seumumnya. Pada kelanjutannya filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat. Dengan demikian, pembahasan mengenai lingkupan filsafat sesuatu ilmu khusus tidak terlepas dari kaitan dengan persoalan-persoalan dan filsafat ilmu dan problem-problem filsafat pada umumnya. Clarence Irving Lewis (1956) juga mengemukakan adanya dua gugus persoalan yakni, problem- problem reflektif dalam suatu ilmu khusus yang dapat dikatakan membentuk filsafat dari ilmu tersebut dan problem-problem mengenai asas permulaan dan ukuran-ukuran yang berlaku umum bagi semua ilmu maupun aktivitas kehidupan seumumnya.

Problem menurut definisi A. Cornelius Benjamin ialah ”sesuatu situasi praktis atau teoritis yang untuk itu tidak ada jawaban lazim atau otomatis yang memadai, dan yang oleh sebab itu memerlukan proses-proses refleksi. (Runes, ed., 1975: 55).

Banyak sekali pendapat para ahli filsafat ilmu mengenai kelompok atau perincian problem apa saja yang diperbincangkan dalam filsafat ilmu. Untuk medapat gambaran yang lebih jelas perlulah kiranya dikutipkan pendapat-pendapat berikut:

A.   Cornelius Benjamin (1977: 542-547) menggolong-golongkan segenap persoalan filsafat ilmu dalam tiga bidang: (1) Bidang pertama meliputi semua persoalan yang bertalian secara langsung atau tidak langsung dengan suatu pertimbangan mengenai metode ilmu; (2) Persoalan-persoalan dalam bidang kesdua dalam filsafat ilmu agak kurang terumuskan baik dari problem-problem tentang metode. Dalam suatu makna, banyak darinya merupakan pula persoalan-persoalan metode. Tetapi, penunjukannya secara langsung lebih kepada pokok soal daripada kepada prosedur sehingga persoalan-persoalan itu menyangkut apa yang umumnya disebut pertimbangan-pertimbangan metafisis dalam suatu cara bidang terdahulu tidak menyangkutnya. Ini bertalian dengan analisis terhadap konsep-konsep dasar dan praanggapan-praanggapan dari ilmu-ilmu; (3) Bidang ketiga dari filsafat ilmu, terdiri dari aneka ragam kelompok persoalan yang tidak mudah terpengaruh oleh suatu penggolongan sistematis. Kesemua itu dapat secara kasar dilukiskan sebagaimana bersangkut paut dengan implikasi-implikasi yang dipunyai ilmu dalam isi maupun metodenya bagi aspek-aspek lain dari kehidupan kita.

Michael Berry (Bullock & Stallybrass, 1977: 559-560) mengemukakan dua problem yang berikut: (1) Bagaimana kuantitas dari rumusan dalam teori- teori ilmiah? (misalnya suatu ciri dalam genetika atau momentum dalam mekanika Newton) berkaitan dengan peristiwa-peristiwa dalam dunia alamiah di luar pikiran kita; (2) Bagaimana dapat dikatakan bahwa teori atau dalil ilmiah adalah ‘benar’ berdasarkan induksi dari sejumlah persoalan yang terbatas?

Menurut B. Van Fraassen dan H. Margenau (1968: 25-27) problem- problem utama dalam filsafat ilmu setelah tahun-tahun enam puluhan ialah: (1) Metodologi (Hal-hal yang menonjol yang banyak diperbincangkan adalah mengenai sifat dasar dari penjelasan ilmiah, dan teori pengukuran). (2) Landasan ilmu-ilmu (ilmu-ilmu empiris hendaknya melakukan penelitian mengenai landasannya dan mencapai sukses seperti halnya landasan matematik). (3) Ontologi (Persoalan utama yang diperbincangkan ialah menyangkut konsep-konsep substansi, proses, waktu, ruang, kausalitas, hubungan budi dan materi, serta status dari entitas-entitas teoritis).

David Hull (1974) seorang ahli filsafat dan biologi ini mengemukakan persoalan yang berikut:

Persoalan menyampingkan yang meliputi jilid-jilid belakangan ini (seri Foundations of Philosophy) ialah apakah pembagian tradisional dari ilmu-ilmu empiris dalam cabang-cabang pengetahuan yang terpisah seperti geologi, astronomi dan sosiologi mencerminkan semata-mata perbedaan dalam pokok soal ataukah hasil dari perbedaan pokok dalam metodologi. Secara singkat, adakah suatu filsafat ilmu tunggal yang berlaku merata pada semua bidang ilmu kealaman, atau adakah beberapa filsafat ilmu yang masing-masing cocok dalam ruang lingkupnya sendiri? (Hull, 1974: 1-2)

Victor Lenzen (1965: 94) mengajukan dua problem: (1) Struktur Ilmu, yaitu metode dan bentuk pengetahuan ilmiah; (2) Pentingnya ilmu bagi praktek dan pengetahuan tentang realitas.

J. J. C. Smart (1968: 4-5) mengumpamakan kalau seorang awam bukan filsuf membuka-buka beberapa nomor dari majalah Amerika serikat berjudul Philosophy of Science dan majalah Inggris The British Journal of the Philosophy of science, maka akan dijumpainya dua jenis persoalan: (1) Pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu, misalnya pola-pola perbincangan ilmiah, langkah-langkah pengujian teori ilmiah, sifat dasar dari dalil dan teori dan cara- cara merumuskan konsep ilmiah; (2) Perbincangan filsafati yang mempergunakan ilmu, misalnya bahwa hasil-hasil penyelidikan ilmiah akan menolong para filsuf menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang manusia dan alam semesta.

Joseph Sneed (Butts & Hintikka, eds., 1977: 245) menyatakan bahwa pembedaan dalam jenis problem-problem filsafat ilmu khusus (misalnya variabel tersembunyi, determinisme dalam mekanika quantum) dan jenis problem-problem filsafat ilmu seumumnya (misalnya ciri-ciri teori ilmiah) yang telah umum diterima adalah menyesatkan. Hal itu dinyatakannya demikian, “Saya menyarankan bahwa dualitas diantara problem-problem filsafat ilmu ini adalah menyesatkan. Saya berpendapat bahwa problem- problem filasafati tentang sifat dasar ilmu seumumnya tidaklah, dalam suatu cara yang mendasar, berbeda dengan problem-problem filasafati yang bertalian semata-mata dengan ilmu-ilmu khusus. Secara khusus tidaklah ada makna khusus bahwa filsafat ilmu seumumnya merupakan sustu usaha normatif, sedangkan filsafat ilmu-ilmu khusus tidak.”

Menurut Frederick Supple (1974: 3), problem yang paling pokok atau penting dalam filsafat ilmu adalah sifat dasar atau struktur teori ilmiah. Alasannya ialah kerena teori merupakan roda dari pengetahuan ilmiah dan terlibat dalam hampir semua segi usaha ilmiah. Tanpa teori tidak akan ada problem-problem mengenai entitas teoritis, istilah teoritis, pembuktian kebenaran, dan kepentingan kognitif. Tanpa teori yang perlu diuji atau diterapkan, rancangan percobaan tidak ada artinya. Oleh karena itu hanyalah agak sedikit melebih-lebihkan bilamana dinyatakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu analisis mengenai teori dan peranannya dalam usaha ilmiah.

D.W. Theobald (1968: 5-6) menyatakan bahwa filsafat ilmu terdapat dua kategori problem yaitu: (1) Problem-problem Metodologis yang menyangkut struktur pernyataan ilmiah dan hubungan-hubungan diantara mereka. Misalnya analisis probabilitas, peranan kesederhanaan dalam ilmu, realitas dari entitas teoritis, dalil ilmiah, sifat dasar penjelasan, dan hubungan antara penjelasan dan peramalan.

2) Problem-problem tentang ilmu yang menyelidiki arti dan implikasi dari konsep-konsep yang dipakai para ilmuwan. Misalnya kausalitas, waktu, ruang, dan alam semesta.

Pakar filsafat sejarah W. H. Walsh (1960: 9) menyatakan bahwa filsafat ilmu mencakup problem yang timbul dari metode dan praanggapan dari ilmu serta sifat dasar dan persyaratan dari pengetahuan ilmiah.

Walter Weimer (1979: 2-3) mengemukakan empat problem filsafat ilmu sebagai berikut:

1)     Pencarian terhadap suatu teori penyimpulan rasional (ini berkisar pada penyimpulan induktif, sifat dasarnya dan pembenarannya).

2)     Teori dan ukuran bagi pertumbuhan atau kemajuan ilmiah (Ini berkisar pada pertumbuhan pengetahuan ilmiah, pencarian dan penjelasannya. Misalnya dalam menilai bahwa teori Einstein lebih unggul daripada teori sebelumnya, apakah ukurannya?)

3)     Pencarian terhadap suatu teori tindakan Pragmatis (dalam menentukan salah satu teori di antara teori-teori yang salah, bagaimanakah caranya untuk mengetahui secara pasti teori yang paling terkecil kesalahannya?)

4)     Problem mengenai kejujuran intelektual (Ini menyangkut usaha mencocokkan prilaku senyatanya, dari para ilmuwan dengan teori yang mereka anut setia).

Philip Wiener (Bronstein, 1957: 226) menyatakan bahwa para pakar filsafat ilmu dewasa ini membahas problem-problem yang menyangkut: (1) Struktur logis atau ciri-ciri metodologis umum dari ilmu-ilmu; (2) Saling hubungan antara ilmu-ilmu; (3) Hubungan ilmu-ilmu yang sedang tumbuh dengan tahapan-tahapan lainnya dari peradaban, yaitu kesusilaan, politik, seni dan agama.

Problem-problem filsafat secara umum berkisar pada enam hal pokok, yaitu pengetahuan, keberadaan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan. Berdasarkan keenam sasaran itu, bidang filsafat dapat secara sistematis dibagi dalam enam cabang pokok, yaitu epistemologi (teoripengetahuan), metafisika (teori mengenai apa yang ada), metodologi (studi tentang metode), logika (teori penyimpulan), etika (ajaran moralitas) dan estetika (teori keindahan).

Oleh karena filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat keseluruhan, maka problem-problem dalam filsafat ilmu secara sistematis juga dapat digolongkan menjadi enam kelompok sesuai dengan cabang-cabang pokok filsafat itu. Dengan demikian, seluruh problem dalam filsafat ilmu dapat ditertibkan menjadi:

1)   Problem-problem epistemologis tentang ilmu

2)   Problem-problem metafisis tentang ilmu

3)   Problem-problem metodologis tentang ilmu

4)   Problem-problem logis tentang ilmu

5)   Problem-problem etis tentang ilmu

6)   Problem-problem estetis tentang ilmu 

Menurut R. Harre (Edwards, ed., 1967: 289), problem-problem epitemologis, metafisis, dan logis yang bertalian dengan ilmu-ilmu mulai memperoleh perhatian para filsuf dan ilmuwan pada awal abad ke-19.

Problem-problem secara metodologis telah secara tegas disebutkan oleh

D. W. Theobald dimuka sebagai salah satu kategori problem dalam filsafat ilmu. Problem-problem etis yang menyangkut ilmu juga telah disebutkan dimuka oleh Walter Weimer (menyangkut kejujuran intelektual para ilmuwan dan oleh Philip Weiner (menyangkut hubungan ilmu dengan kesusilaan sebagai suatu segi perdaban manusia). Problem-problem estetis yang menyangkut ilmu pada dasawarsa terakhir ini dimulai menjadi topik perbincangan oleh sebagian filsuf dan ilmuwan. Dalam tahun 1980 diadakan sebuah konferensi para ahli yang membahas dimensi estetis dari ilmu.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan ahli di atas, maka problem filsafat ilmu dibicarakan sejajar dengan diskusi yang berkaitan dengan landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Secara ringkas, permasalahan atau problema filsafat ilmu mencakup: Pertama, problem ontologi ilmu; perkembangan dan kebenaran ilmu sesungguhnya bertumpu pada landasan ontologis (”apa yang terjadi” = eksistensi suatu entitas). Kedua, problem epistemologi; adalah bahasan tentang asal muasal, sifat alami, batasan (konsep), asumsi, landasan berfikir, validitas, reliabilitas sampai soal kebenaran (bagaimana ilmu diturunkan = metoda untuk menghasilkan kebenaran). Ketiga, Problem aksiologi; implikasi etis, aspek estetis, pemaparan serta penafsiran mengenai peranan (manfaat) ilmu dalam peradaban manusia. Ketiganya digunakan sebagai landasan penelaahan ilmu.

 

D.   Berbagai Pendekatan Filsafat Ilmu

Untuk mengenalkan berbagai wawasan ada dua alternatif yang dapat diketengahkan, yaitu: memperkenalkan aliran-aliran dominan dalarn filsafat ilmu atau memperkenalkan berbagai pendekatan yang menonjol dalam pengembangan ilmu. Berpegang pada aliran-aliran, dikhawatirkan fungsi telaah berubah menjadi harus menjelaskan tuntas tentang sesuatu aliran. Agar studi filsafat ilmu tidak menjadi historis melainkan sistematis sekaligus fungsional, maka ditempuh dengan memperkenalkan berbagai pendekatan yang lazim digunakan dalam pengembangan ilmu. Secara garis besar ada empat pendekatan dalam filsafat ilmu, yaitu: (1) Rasionalisme, (2) Empirisme dan Positivisme, (3) Rasionalisme Kritis, dan (4) Kontruktivisme.

Pertama, pandangan aliran rasionalisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan sering dipertautkan dengan akal. Dalam arti sempit, rasionalisme berarti anggapan mengenai teori pengetahuan yang menekankan akal dan atau ratio, untuk membentuk pengetahuan. Ini berarti bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan sumbangan indera. Mengenai ilmu diketengahkan oleh rasionalisme bahwa mustahillah membentuk ilmu hanya berdasarkan fakta, data empiris, atau pengamatan.

Kedua, pandangan aliran empirisme dan positivisme. Pandangan aliran empirisme memberi kelonggaran pada peranan data kenyataan untuk mengembangkan bahkan mengubah struktur ilmu pengetahuan. Maka empirisme dalam filsafat ilmu dapat lebih mengindahkan keharusan selalu mengubah dan mencocokan sistem ilmu dengan data empiris. Dalam membangun teori, empirisme memiliki siklus yang selalu dimulai dari observasi, kemudian melahirkan hukum empiris, selanjutnya dibangun teori. Aliran empirisme berpendapat bahwa induksi sangat penting, karena jalan pikirannya berangkat dari yang diketahui menuju ke yang tidak diketahui. Karena ilmu pengetahuan selalu ada unsur rasionalismenya, aliran empirisme mengalami kesulitan dalam kaidah-kaidah logika dan matematika. Disinilah aliran positivisme muncul untuk mengatasi masalah tersebut. Data observasi yang diperoleh dapat digunakan untuk ”menghitung”, atau melakukan penjabaran logis dan deduksi, sebagaimana yang terjadi pada aliran rasionalisme. Dengan demikian, empirisme dan positivisme memberikan kelonggaran lebih besar kepada masukan dari empiris dalam membangun ilmu pengetahuan.

Ketiga, pandangan aliran rasionalisme kritis. Seperti penjelasan di atas, aliran rasionalisme dan empirisme termasuk positivisme merupakan dua aliran  yang bertentangan. Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut terbuka upaya penyangkalan atau pembuktian salah (falsifikasi) yang secara terus menerus sehingga dapat lebih dikokohkan (corroborated).

Di samping itu, titik suatu ilmu terletak pada melihat situasi permasalahan. Lewat proses trial and error dan error eliminitian, ilmu yang dikembangkan atas permasalahan tadi, dapat mendekatan kebenaran.

Keempat, pandangan aliran konstruktivisme yang menekankan pada sifat kontekstual ilmu pengetahuan, yaitu pentingnya seluruh konteks demi terjadinya suatu sistem ilmiah. Konteks dan ilmu dapat saling mempengaruhi. Apabila ilmu bertentangan dengan konteks atu pengalaman, maka tidak berarti bahwa ilmu tersebut runtuh. Dalam hal terjadi pertentangan dan ketidaksesuasian tersebut, diperlukan terjemahan untuk memperbaharui sistem ilmu tadi.

 

E.   Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim (1989: iv), bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.

Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut: 

(1) Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya renaisans;

(2)  Filsafat Ilmu sejak munculnya rennaisance sampai memasuki era positivisme;

(3) Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas;

(4) Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.

Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut diuraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu diungkap juga tentang peran filosof di dunia Islam, Cina, India, dan Jepang, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.

1.  Filsafat Ilmu Zaman Kuno

Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir- pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes (Kattsof, 1989: 1). Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.

Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas.

Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas, seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.

Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri.

Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang filosof muslim Pythagoras belajar geometri dan matematika dari orang- orang mesir (Rowston, dalam Kartanegara, 2003).

Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”. Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran. Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru.

Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia. Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea.

Pada zaman Yunani Kuno, filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis). (Gie, 1997: 1-2).

Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek- aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis (Melsen, 1992: 14).

Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu. Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau silogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan (Titus, et al., 1984: 257).

Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin silogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya era renaisans. Silogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernyataan, yaitu sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi (Russel, 1961: 206).


2.  Filsafat Ilmu Era Renaisans

Memasuki masa renaisans, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh (Russel, 1961: 206).

Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, ditandai


dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power (Verhaak & Imam, 1991: 139).

Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon (metode baru) dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya (Bertens, 1988: 44-45). Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd (Hart, 1993: 393).

Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah (1986) dalam Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”.

Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah (Hart, 1993: 394). Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah (Hadiwijono, 1992: 15). Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal (Verhaak & Imam, 1991: 137).

Sebagai pelopor perkembangan filsafat ilmu pengetahuan, Roger Bacon juga menguraikan tentang logika. Bacon menyusun logika meliputi empat macam keterampilan (ars) yaitu bidang penemuan (ars inveniendi), bidang perumusan kesimpulan secara tepat (ars iudicandi), bidang mempertahankan apa yang sudah dimengerti (ars retinendi), dan bidang pengajaran (ars tradendi) (Verhaak & Imam, 1991: 141-142).

Di sini nampak bahwa di tengah kancah perkembangan ilmu yang larut dengan pengaruh Aritoteles kehadiran Bacon berusaha untuk mengubah opini umum tentang silogisme yang telah ditawarkan Aristoteles sebelumnya.


Bacon mengatakan bahwa logika yang digunakan sejak zaman Aristoteles lebih merugikan dari pada menguntungkan. Teori induktif Bacon lahir sebagai jawaban atas kelemahan dari teori deduksi yang sebelumnya sering dipakai oleh Arisototelian. Bacon, walaupun benar-benar menerima teori prosedur ilmiah Aristoteles, di sisi lain ia mengkritik tajam terhadap cara dari prosedur ini diambil. Dalam teori induktifnya Bacon mempermasalahkan tiga indikasi: pertama, Aristoteles dan pengikutnya mempraktekan koleksi data yang tidak kritis. Dalam hubungan ini Francis Bacon sangat menekankan nilai dari peralatan (instruments) ilmiah dalam pengumpulan data. Kedua, Aristotelian cenderung mengeneralisasikan dengan terlalu terburu-buru. Dengan memberikan sedikit observasi-observasi, mereka juga menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk mendeduksi scope yang lebih sedikit. Ketiga, Aristoteles dan pengikutnya memberlakukan induksi dengan penghitungan yang sederhana, yang mana hubungan-hubungan dari sifat-sifat tersebut ditemukan untuk mempertahankan beberapa individu-individu dari sebuah tipe yang diberikan, dinyatakan sebagai pegangan bagi keseluruhan individu dengan tipe tersebut. Namun, dalam praktiknya hal ini sering menghantarkan pada kesimpulan-kesimpulan yang salah, di mana hal-hal yang negatif tidak diambil sebagai catatan (Loose, 2001: 57).

Menurut Bacon, selain dengan mudah menerima ide-ide dari yang terdahulu, para ilmuan seharusnya menyelidiki alam dengan pengamatan yang penuh kehati- hatian dan juga menyertainya denga percobaan-percobaan. Mereka diharapkan mampu mengumpulkan bukti-bukti sebanyak mungkin tentang fenomena yang sedang mereka pelajari, menggunakan eksperimen-eksperimen manakala mungkin untuk menjeneralisasikan fakta-fakta tambahan. Bagaimanapun juga, bukti-bukti tersebut juga harus dikumpulkan, selanjutnya mereka diharuskan memegangnya dengan penuh kehati-hatian dan memberikan kesimpulan-kesimpulan general dari bukti-bukti penting tertentu (Velasquez, 1996: 390).

Dinyatakan di sini eksperimen adalah sangat penting dalam proses pengambilan kesimpulan dari sebuah kesimpulan suatu teori. Kritik Bacon walau bagaimanapun bisa dibenarkan mengingat fakta yang dikumpulkan sebagai bukti untuk melakukan generalisasi adalah sangat penting keberadaannya, karena hal ini juga bisa meminimalisir kesalahan dari kesimpulan yang diambil setelah proses percobaan.

Di sisi yang lainnya Bacon menyatakan bahwa sains tidak bisa melewati cara deduksi karena sains harus di perhatikan bersama dengan inquiri yang murni dan sederhana (mudah), inquiri tersebut tidak dibebani dengan praduga yang diyakini. Bacon juga memegang teguh prinsip keilmuan bahwa sains harus mulai pada gaya ini, selanjutnya harus mengembangkan metode inquiri yang dapat diandalkan (Gemon & Craver, 1995: 47).

Dalam perkembangan selanjutnya muncul John Locke (1632-1714) David Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804). Ketiga filosof ini memberi pengaruh cukup besar terhadap perkembangan filsafat ilmu selanjutnya.

Locke berpendapat bahwa ketika seorang bayi lahir akalnya seperti papan tulis yang kosong atau kamera yang merekam kesan-kesan dari luar. Pengetahuan hanya berasal dari indra yang dibantu oleh pemikiran, ingatan, perasaan indrawi diatur menjadi bermacam-macam pengetahuan. Locke mengakui adanya ide bawaan (innate ideas) (Titus, et al., 1984: 363).

Dalam perkembangan pengetahuan teori Locke dikenal dengan istilah teori tabularasa. Berdasar pada empirisme radikal yang dianutnya, Hume yakin bahwa cara kerja logis induksi yang diperkenalkan oleh Bacon tidak mempunyai dasar teoritis sama sekali. Logika induktif ialah kontradiksi: dua kata yang bertentangan satu sama lain sebab induksi melanggar salah satu hukum logika yaitu bahwa kesimpulan tidak boleh leboh luas dari pada premis. Sanggahan Hume ini secara konsekwen sesuai dengan anggapan dasarnya bahwa hanya ada dua cara pengetahuan, yaitu pengetahuan empiris dan abstract reasoning concerning quantoty or number, yang keduanya deduktif (Verhaak & Imam, 1991: 145-146).

Kant dalam hal ini memperkenalkan cara pengenalan dan mengambil kesimpulan secara sintetis yang di peroleh secara a posteriori dan putusan analitis dan diperoleh secara a priori, di samping itu juga kesimpulan yang bersifat sintetis yang juga diperoleh secara a priori. Ilmu pasti disusun atas putusan yang a priori yang bersifat sintetis. Ilmu pengetahuan mengandaikan adanya putusan - putusan yang memberikan pengertian baru (sintetis) dan yang pasti mutlak serta bersifat umum (a priori). Maka ilmu pengetahuan menuntut adanya putusan-putusan yang bersifat a priori yang bersifat sintesis (Hadiwijono, 1992: 65). Ketiga teorinya ini dikenal dengan nama Kritik Rasio Murni yang dikemukakan dalam Kritik der Reinen Vernunft (Hamersma, 1990: 29).

Memasuki abad XIX muncul Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) memperkenalkan filsafat Wissenchaftslehre atau Ajaran Ilmu Pengetahuan (Epistimologi), yang bukan-nya suatu pemikiran teoritis tentang struktur dan hubungan ilmu pengetahuan melainkan suatu penyadaran tentang pengenalan diri sendiri yaitu penyadaran metodis di bidang pengetahuan itu sendiri (Hadiwijono, 1992: 88).

Fichte menentang Kant yang mengatakan bahwa berfikir secara ilmu-pasti alamlah yang akan memberikan kepastian di bidang pengenalan. Fichte tidak memisahkan antara rasio teoritis dan rasio praktis (Hadiwijono, 1992: 88).

Selanjutnya muncul John Stuart Mill (1806-1873). Dalam A system of Logic Mill menyelidiki dasar-dasar teoritis falsafi proses kerja induksi. Mill melihat bahwa tugas utama logika dalam bidang mengatur cara kerja induktif lebih dari sekedar menentukan patokan deduksi logistis yang tak pernah menyampaikan pengetahuan baru kepada kita. Dalam menguraikan logika induktif Mill mau menghindari daya eksterm yaitu generalisasi empiris dan mencari dukungan dalam salah satu teori mengenai induksi atau pengertian apriori (Verhaak & Imam, 1991: 147-148). Mill berpendapat bahwa induksi sangat penting, karena jalan pikirannya dari yang diketahui menuju (proceds) ke yang tidak diketahui (Veursen, 1985: 82).

Menurut Mill, Pengetahuan yang paling umum dan lama kelamaan muncul untuk diperiksan ialah The Course of Nature in Uniform yang merupakan asas dasar atau aksioma umum induksi. Asas utama itu itu paling menjadi paling tampak dalam hukum alam dasarriah yang disebutnya Law of Causality, artinya setiap gejala alam yang kita amati mempunyai suatu cause yang dicari dalam ilmu pengetahuan. Sebab itu adalah keseluruhan syarat-syarat yang perlu (necessary) dan memadai (suffient) agar gejala terjadi (Verhaak & Imam, 1991: 149).

Di abad ini muncul sejumlah tokoh yang pemikirannya erat kaitannya dengan perkembangan filsafat ilmu, antara lain William Whewel (1795-1866) yang mendukung adanya intuisi, pertama-tama dalam ilmu pasti mengenai aksioma- aksioma paling dasar dan menurut contoh ilmu pasti itu titik pangkal unduksi dalam ilmu-ilmu alam juga bersifat intuitif. Hanya saja arti dan kedudukan intuitif pada diri manusia tidak diterangkan.

Auguste Comte (1798-1857). Menurutnya sejak jaman teologis dan metafisis sudah tiba jaman ilmu positif (empiris) yang defenitif. Dalam hal ilmu positif Comte membedakan pengetahuan menjadi enam macam ilmu, dari yang paling abstrak: matematika, ilmu falak, fisika, kimia, ilmu hayat dan sosiologi. Matematika dipandang sebagai ilmu deduktif, sedangkan lima lainnya dalam keadaan ingin mendekati deduktif itu. Dalam hal ini Comte berusaha mengadakan kesatuan antara ilmu pasti dan ilmu empiris (Verhaak & Imam, 1991: 150).


3.  Filsafat Ilmu Era Positivisme

Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick (Azim, 1989: v).

Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif (Bertens, 1990: 165). Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.

Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman) (Janik & Toulmin, 1973: 208-209). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme (Chalmers, 1983: xx). Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis (Verhaak & Imam, 1991: 154).

Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu (Verhaak & Imam, 1991: 154).


Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya (Bertens, 1990: 1970). Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme Hamersma, 1990: 141).


4.  Filsafat Ilmu Kontemporer

Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof- filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.

Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn (Verhaak & Imam, 1991: 158-161).

Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend,

N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme (Verhaak & Imam, 1991: 163).

Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan- gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).

Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner (Verhaak & Imam, 1991: 166-167).

Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an (Bartens, 1988: 17). 

Pemikirannya tentang Anarkisme sebagai kritik terhadap ilmu pengetahuan seperti menemukan padanannya dengan semangat pemikiran Postmodernisme yang mengumandangkan semangat dekonstruksionalisme. Dalam konteks ini apa yang dimaksud Anarkisme oleh Feyerabend adalah suatu orientasi pemikiran filsafat yang senantiasa menggugat kemapanan suatu teori ilmiah (Tim Redaksi Driya karya, 1993: 55).

Dalam Against method, Feyerabend menyatakan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa diterangkan ataupun diatur segala macam aturan dan sistim maupun hukum. Perkembangan ilmu terjadi karena kreatifitas individual, maka satu-satunya prinsip yang tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan ialah anything goes (apa saja boleh) (Verhaak & Imam, 1991: 166).

Menurut Feyerabend, dewasa ini ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama dengan posisi pada abad pertengahan. Ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru menguasai dan memperbudak manusia. Oleh karenanya Feyerabend menekankan kebebasan individu (Verhaak & Imam, 1991: 167).

Dalam tahap perkembangan selanjutnya muncul Institut Penyelidikan Sosial di Frankfurt, Jerman, yang dipelopori oleh Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969), Erich Fromm (1900-1980) dan Herbert Marcuse (1898-1979). Mereka memperbaharui dan memperdalam masalah teoritis dan falsafi mengenai cara kerja dan kedudukan ilmu-ilmu sosial (Verhaak & Imam, 1991: 170-171).


5.  Peranan Filosof Muslim Terhadap Perkembangan Filsafat Ilmu

Di dunia Islam, perkembangan filsafat Ilmu walaupun tidak sepesat perkembangannya di belahan dunia lain, khususnya Eropa dan Amerika, namun sedikit banyaknya filosof-filosof Muslim juga memiliki andil yang turut mewarnai perkembangan filsafat Ilmu secara keseluruhan. Perkembangan filsafat Islam dengan sendirinya tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian integral dari perkembangan filsafat  (Hanafi, 1991: 13-15).

Filosof-filosof muslim umumnya punya metode dan teori tersendiri yang merupakan corak dan ciri khas pemikirannya yang juga berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan pada masa sesudahnya (Sharif, 1962). Di samping itu perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dari peran ilmuwan dan filosof muslim khususnya dalam transfer dan translating ilmu dan filsafat Yunani ke dalam Bahasa Arab yang kemudian pada masa-masa selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa, Latin dan sebagainya (Nasution, 1992: 10).

Salah seorang filosof muslim yang mendapat posisi terhormat dalam perkembangan filsafat ilmu ialah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan, yang lebih populer dengan al-Farabi (Latin: Averroes, 257 H./870 M.

337 H./950 M.). Beliau dikenal sebagai al-Muallim al-Sani atau The Second Teacher karena usahanya yang memberikan komentar atas logika Aristoteles (Nasr, 1986: 1964-1966). Dalam mengomentari karya Aristoteles tersebut, al-Farabi menjadikan pemikiran sillogysm menjadi lebih mudah dipahami oleh orang-orang sesudahnya.

Perkembangan filsafat Ilmu di Dunia Islam dewasa ini ada kesan diarahkan pada suatu upaya mewujudkan Islamisasi sains (Hoodboy, 1996). Upaya ini misalnya diketengahkan oleh pemikir-pemikir muslim, antara lain Maurice Bucaille, Sayyed Husssein Nasser, Ziauddin Zardar, dan lain-lain.


6.   Sejarah Perkembangan Ilmu di Cina, India, dan Jepang

Peradaban India yang pada awal telah mencapai teknologi tingkat tinggi. Kontak Eropa dengan peradaban India sebagian besar melalui sumber berbahasa Arab. Jelas terlihat matematika India dengan sistem bilangan dan perhitungannya yang telah mempengaruhi aljabar Arab dan melengkapi angka utama Arab. Tetapi ciri khasnya adalah pemikiran dengan kesadaran yang tinggi.

Peradaban Cina, hingga zaman renaisans peradaban Cina jauh lebih maju dibanding Barat. Menurut Francis Bacon, Tranformasi masyarakat Eropa banyak berasal dari Cina seperti kompas magnetik, bubuk mesiu, dan mesin cetak. Namun Eropa tidak pernah menyadari hutang budinya kepada Cina. Kegagalan Cina dalam membuat perkembangan ilmu dan teknologi adalah filsafat yang ada lebih berlaku praktis ketimbang prinsip-prinsip abstrak, filsafat yang ada didasarkan analogi-analogi harmonis dan organis serta pedagang sebagai kelas yang tidak dapat dipercaya, sehingga ciri renaisans yang terjadi di Eropa tidak terjadi di Cina.

Peradaban Jepang selama beberapa abad terimbas dari kultur Cina. Pada awal abad ke-17 memutuskan untuk menutup pintu dari pengaruh-pengaruh yang dianggap membahayakan. Awal abad ke-19 memutuskan berasimilasi ke bangsa luar dan melaksanakan dengan sungguh. Saat ini satu sisi Jepang hidup dengan teknologi yang tinggi akan tetapi tetap mengikuti tradisi sosial yang kuno seperti bangsa Cina.

 

F.  Tujuan dan Fungsi Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, tujuan dan fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari tujuan dan fungsi filsafat itu sendiri. Jujun S. Suriasumantri (1999: 19) mengatakan bahwa berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan terbatasi ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri sendiri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.

Berdasarkan dari beberapa pendapat tentang berbagai pengertian filsafat, maka tujuan umum pelajaran filsafat adalah sebagai berikut: (1) dengan berfilsafat kita lebih memanusiakan diri, lebih mendidik dan membangun diri manusia; (2) dapat mempertahankan sikap objektif dan mendasarkan pendapat atas pengetahuan yang objektif, tidak hanya berdasarkan pertimbangan- pertimbangan simpati dan antipati saja; (3) mengajar dan melatih kita memandang dengan luas. Jadi, menyembuhkan kita dari kepicikan, dari “aku- isme” dan “aku-sentuisme” hanya mementingkan “aku-nya” saja, yang dapat merugikan perkembangan manusia seutuhnya; (4) dengan pelajaran filsafat kita diharapkan mnejadi orang yang dapat berfikir sendiri, tidak menjadi yes- man atau yes-woman. Kita harus menjadi orang yang sungguh-sungguh mandiri, terutama dalam lapangan kerohanian dan menyempurnakan cara kita berpikir, dan memiliki sifat kritis.

Menurut Burhanuddin Salam (2000: 19), filsafat dengan fungsinya sebagai Mater Scientiarum (induk ilmu pengetahuan) berarti mencakup semua ilmu pengetahuan khusus. Filsafat itu juga merupakan suatu pegangan menusia pada masa itu, dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Dengan menguasai filsafat pada zaman itu (sebelum masehi), dapatlah seorang ahli menjawab segala permasalahan di dunia ini, baik masalah manusia sendiri, alamnya, maupun Tuhannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan perkembangan zaman, meningkatnya kebutuhan hidup manusia, dan semakin berkembangnya kehidupan modern maka semakin terasalah kebutuhan untuk menjawab segala tantangan yang dihadapi manusia. Dalam keadaan demikian, lahirlah apa yang disebut ilmu-ilmu pengetahuan khusus.

Menurut Burhanuddin Salam (1988) fungsi dari filsafat itu adalah bahwa betapa besar kepentingan filsafat bagi perwujudan dan pembangunan hidup kita. Jadi kita menjunjung tinggi dan mempertahankan filsafat sebagai suatu hal yang sangat berharga. Akan tetapi bersama-sama dengan itu harus kita akui juga batas-batas atau kenisbian filsafat. Terbatasnya kemampuan akan budi manusia dalam usahanya untuk memecahkan soal-soal tentang dunia dan manusia, tentang hidup dan Tuhan (Salam, 1988: 109).

Secara spesifik, cara kerja filsafat ilmu memiliki pola dan model-model yang spesifik dalam menggali dan meneliti dalam menggali pengetahuan melalui sebab musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan. Di dalamnya mencakup paham tentang kepastian, kebenaran, dan obyektifitas. Cara kerjanya bertitik tolak pada gejala-gejala pengetahuan mengadakan reduksi ke arah intuisi para ilmuwan, sehingga kegiatan ilmu-ilmu itu dapat dimengerti sesuai dengan kekhasan masing-masing (Verhaak, dkk., 1995: 107-108), disinilah akhirnya dapat dipahami fungsi dari filsafat ilmu.

Jadi, Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu adalah

1.    Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual

2.    Kritis terhadap aktivitas ilmu/keilmuan

3.    Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-meneru sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu).

4.    Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional.

5.    Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid.

6.    Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)

 

G.   Komponen/Anatomi Pengetahuan dan Ilmu

Pengetahuan tidak serta merta dipandang sebagai ilmu, ada prasyarat sehingga pengetahuan bisa berproses menjadi ilmu. Proses tersebut dirangkai dalam komponen atau anatomi yang dapat dijelaskan seperti di bawah ini.

Anatomi atau komponen ilmu dibangun dari realita alam semesta. Komponen ilmu merupakan aspek dinamis dari perwujudan ilmu yang bersifat abstrak dan general (umum). Komponen-komponen ilmu tersusun dari alam konkrit (realita) hingga alam abstrak (ilmu). Komponen-komponen yang menjembataninya yaitu fenomena, konsep, variabel, proposisi, fakta dan teori. komponen-komponen tersebut dapat dijelaskan dalam rangkaian berikut:

Dari skema diatas terurai jelas dimana pengetahuan berangkai sebagai tahapan perkembangan (development). Hal ini sesuai dengan ungkapan bahwa ilmu merupakan akumulasi dari pengetahuan yang tersusun secara sistematis, bersifat abstrak, general dan universal yang mampu menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena yang terjadi.

Melihat skema diatas dapat dijelaskan bahwa fenomena yang ditangkap oleh panca indera manusia dari alam nyata diabstraksikan pada konsep-konsep. Penelaahan mendasar dari konsep-konsep tersebut dijewantahkan melalui variabel-varlabel. Variabel-variabel tersebut digolongkan berdasarkan variabel penentu (determinant) dan variabel yang ditentukan (result), yang kemudian dicarikan korelasinya sebagai sebab-akibat. Hal ini disebut proposisi. tersebut merupakan kesimpulan penalaran pikiran dengan tingkat kebenarannya yang masih sementara yakni disebut hipotesis. Apabila proposisi tersebut teruji secara empiris maka disebut fakta. Kemudian jika beberapa fakta terjalin dalam rangkaian yang memiliki arti maka tahap ini disebut teori. Teori-teori inilah sebenarnya yang merupakan ilmu (ilmu penuh dengan teori- teori). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa teori adalah seperangkat konsep- konsep dan/atau variabel-variabel dari suatu fenomena dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain dan tersusun secara sistematis, dan bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan meramalkan (prediction) ataupun mengendalikan (control) fenomena-fenomena. Kesimpulan teori-teori bersifat general dan abstrak.

 

H.   Model Perkembangan Ilmu Menurut Khun

Menurut Khun ilmu pengetahuan berkembang dalam model skema sebagai berikut:

Keterangan :

P1 : Paradigma lama, ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma tertentu

NC : Normal Science, Periode akumulasi ilmu pengetahuan dimana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh.

A : Anomalies, para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dan penyimpangan yang terjadi karena ketidakmampuan paradigma yang ada di dalam memberikan penjelasan secara memadai terhadap persoalan- persoalan yang timbul.

C : Crisis, jika pertentangan terus terjadi, krisis akan muncul sedangkan paradigma tadi akan mulai disangsikan validitasnya.

R : Revolution, krisis memuncak, timbul revolusi ilmiah, paradigma baru muncul menggantikan paradigma lama.

P2 :   Paradigma baru, yang mampu memecahkan persoalan yang dihadapi.

Dalam tahap ini terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.


 

I. Paradigma dan Penelitian Ilmiah

Paradigma merupakan landasan penting bagi penelitian ilmiah. Selain mengarahkan penelitian, paradigma juga mampu mengubah pandangan hidup para ilmuwan, dimana para ilmuwan cenderung terikat dan mengacu pada aturan-aturan dan standar yang sama untuk suatu penelitian ilmiah. Sehingga mereka cenderung menggunakan metode yang sama untuk memecahkan persoalan yang sama.

Menurut Khun, terdapat dua jenis penelitian ilmiah, yaitu: 1) Normal science, dan 2) Extra ordinary science.

Penelitian yang bersifat menghasilkan normal science bertolak pada suatu kesamaan pengetahuan dan teori tertentu yang disepakati bersama dalam disiplin ilmu tertentu. Pada normal science hanya menguji (meneliti) secara terbatas suatu paradigma yang telah disepakati. Penelitian seperti ini tidak mendorong atau menghasilkan teori baru. Sifatnya hanya mempertahankan status-quo dengan menggunakan paradigma yang tersedia untuk memecahkan persoalan yang dihadapi.

Ketika paradigma yang tersedia tidak mampu menjawab persoalan, maka paradigma tersebut ditinjau ulang dengan sikap keragu-raguan (doubts). Keragu- raguan ini menciptakan kondisi kebimbangan di kalangan masyarakat (ilmiah), dan ini menyebabkan kehilangan rasa terikat pada keabsahan paradigma yang ada. Para ilmuwan karena tidak terikat dengan paradigma yang ada, maka dalam mengembangkan penelitiannya menggunakan pendekatan paradigma baru, sehingga menghasilkan extra ordinary science. Situasi dan kondisi inilah disebut dengan revolusi sains.

Paradigma yang baru lahir tidak lantas diterima begitu saja, tetapi harus disertai dengan perubahan dan perbaikan pada perangkat teori yang membentuk dan melandasinya. Paradigma baru tidak menambah teori-teori yang ada, tetapi bersifat mengubah dan menggantinya. 



BAB III 
SUBSTANSI FILSAFAT ILMU

 

Telaah tentang substansi filsafat ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi. Kemudian ada tambahan yaitu mengenai telaah konstruksi teori.

 

A.   Fakta atau Kenyataan

Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya. Berikut pandangan mengenai pengertian fakta dari berbagai aliran:

1.     Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.

2.     Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.

3.     Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional.

4.     Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.

5.     Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.

Pada sisi lain, Lorens Bagus (2005) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomena atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini, bangunan teoritis itu mustahil terwujud. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.

 

B.   Kebenaran (Truth)

Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal tiga teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Suriasumantri, 1999). Sementara, Michel William mengenalkan lima teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)


1.   Kebenaran koherensi

Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.

2.   Kebenaran korespondensi

Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik.

3.   Kebenaran performatif

Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.

4.   Kebenaran pragmatik

Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.

5.   Kebenaran proposisi

Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi.

Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.

6.   Kebenaran struktural  paradigmatik

Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.

 

C. Konfirmasi

Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.

 

D. Logika inferensi

Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.

Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran   koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaran struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun, 2001: 9).

Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1999: 46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam dua bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.

 

E.   Telaah Konstruksi Teori

Kata “teori” secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu theorea, yang berarti melihat, theoros yang berarti pengamatan (Bagus, 2006: 1097). Adapun pengertian teori menurut terminologi memiliki beberapa pengertian seperti yang dikemukakan oleh ilmuwan sebagai berikut :

Kerlinger (Wattimena, 2008: 257) mengemukakan bahwa teori adalah suatu kumpulan variabel yang saling berhubungan, defini-defini, proposisi-proposisi yang memberikan pandangan yang sistematis tentang fenomena dengan mempesifikasikan relasi-relasi yang ada diantara beragam variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada.

Cooper dan Schindler (2003) mengemukakan bahwa, a theory is a set systematically interrelated concepst, defintion, and proposition that are advanced to explain and predict phenomena (fact). Teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.

Teori menurut Sugiyono (2007: 52-54) adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Secara umum teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediktion), dan pengendalian (control) suatu gejala.


Bangunan teori adalah abstrak dari sejumlah konsep yang disepakatkan dalam definisi-definisi. Konsep sebagai abstraksi dari banyak empiri yang telah ditemukan kesamaan umumnya dan kepilahannya dari yang lain atau abstraksi dengan cara menemukan sejumlah esensi pada suatu kasus, dan dilakukan berkelanjutan pada kasus-kasus lainnya, dapat dikonstruksikan lebih jauh menjadi proposisi atau pernyataan, dengan membuat kombinasi dari dua konsep atau lebih. Bangunan- banguanan teori tersebut :

1.  Teori Ilmu

Teori ilmu memiliki dua kutub arti teori. Kutub pertama adalah teori sebagai hukum eksperiment muncul beragam, mulai dari hasil eksperimen tersebut meluas ke hasil observasi phisik seperti teori tentang panas bumi. Kutu ke dua adalah hukum sebagai kalkulus formal dapat muincul beragam pula, mulai dari yang dekat dengan kutub pertama seperti teori sebagai eksplanasi phisik misalnya teori Galileo tentang peredaran planet pada porosnya, teori sinar memancar melengkung bila lewat bidang grafitasi. Selanjutnya teori sebagai interpretasi terarah atas observasi seperti sosial statis dan sosial dinamis dari August Conte dan pada ujung kutub ke dua adalah teori sebagai prediksi logis; dengan sifatnya berlaku umum dan diprediksikan berlaku kapan pun, dahulu dan yang akan datang. Seperti teori newton, teori relativitas dari Einstein yang memberikan penjelasan alternatif tentang sumber energi yang memungkinkan matahari menghasilkan energi besar dalam waktu yang begitu lama (Wattimena, 2008: 193).

2.  Temuan Substantif Mendasar

Temuan-temuan atas bukti empirik dapat dijadikan tesis substantive, dan diramu dalam konsep lain dapat dikonstruk menjadi teori subtantive. Asumsi keberlakuan subtantif tersebut ada pada banyak kasus yang sama di tempat dan waktu yang berbeda.

Demikian pula presepsi ilmuwan tentang atom, berkembang. Dari partikel terkecil, diketemukannya unsur radioaktif pada atom dan diketemukannya unsur- unsur elektron yang berputar mengorbit pada proton yang mempunyai kekuatan magnetik. Kemudian pada tahun 1937 diketemukan neutron, semacam proton, tetapi tidak mempunyai kekuatan magnetik. Berat neutron beragam dan inilah yang menyebabkan atom satu beda beratnya dengan atom yang lain. Temuan teori atom ini merupakan temuan ilmiah substantif mendasar (Muhadjir, 2001: 41).

3.  Hukum-hukum Keteraturan

a.  Hukum Keteraturan Alam

Alam semesta ini memiliki keteraturan yang determinate. Ilmu pengetahuan alam biasa disebut hard science, karena segala proses alam yang berupa benda anorganik sampai organik dan hubungan satu dengan lainnya dapat diekspalanasikan dan diprediksikan relatif tepat. Kata relative tepat memuat dua makna : pertama, bila teori yang kita gunakan untuk mebuat ekplanasi atau prediksi sudah sangat lebih baik, dan ke dua, bila variabel yang ikut berperan terpantau (Muhadjir, 2001: 41). Menurut al- Kindi ketertiban alam ini, baik susunan, interaksi, relasi bagian dengan bagiannya, ketundukan suatu bagian pada bagian- bagian lainnya, dan kekukuhan strukturnya di atas landasan prinsip yang terbaik bagi proses penyatuan, perpisahan, dan muncul serta lenyapnya sesuatu dalam alam, mengindikasikan adanya pengaturan yang mantap dan kebijakan yang kukuh. Tentu ada pengatur yang maha bijaksana dibalik semua ini, yaitu Allah (Drajat, 2006: 16-17).

b.  Hukum Keteraturan Hidup Manusia

Hidup manusia itu memiliki keberagaman sangat luas. Ada yang lebih suka kerja keras dan yang lain menyukai hidup santai, ada yang tampil ulet meski selalu gagal, yang lain mudah putus asa, ada yang berteguh pada prinsip dan sukses dalam hidup, yang lain berteguh pada prinsip, dan tergilas habis. Kehidupan manusia mengikuti sunnatullah, mengikuti hukum yang sifatnya indeterminate. Mampu membaca kapan harus teguh prinsip, kapan diam dan kapan berbicara dalam nada yang bagaimana, dia akan sukses beramal ma’ruf nahi mungkar. Manusia mempunyai kemampuan untuk memilih yang baik, dan menghindari yang tidak baik. Dataran baik tersebtu dapat berada pada dataran kehidupan prakmatik sampai pada dataran moral human ataupun moral religius. Memilih kerja yang mempunyai prospek untuk menghidupi keluarganya, merupakan lebebasan memilih manusia dengan konmsukuensi ditempuhnya keteraturan sunnatullah; harus tekun bekerja dan berupaya berprestasi didunia kerjanya. Untuik diterima kepemimpinannya, seorang pemimpin perllu berupaya menjadi siddiq, amanah, dan maksum. Keadaan demikian berkenan dengan pemikiran ibnu bajjah yang membagi perbuatan manusia kepada perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang didorong oleh kehendak

/ kemauan yang dihasilkan oleh pertimbangan pemikiran, dan perbuatan hewani yaitu perbuatan instingtif sebagaimana terdapat pada hewan, muncul karena dorongan intim dan bukan dorongan pemikiran (Drajat, 2006: 16-17).

c.  Hukum Keteraturan Rekayasa Teknologi

Keteraturan alam yang determinate, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keteraturan substantif dan keteraturan esensial. Seperti pohon mangga golek akan berbuah mangga golek. Ketika ilmuwan berupaya menemukan ensensi rasa enak pada mangga, menemukan ensensi buah banyak pada mangga, dan menemukan esensi pohon mangga baru manalagi yang enak buahnya, mebuat rekayasa agar dapat diciptakan pohon mangga baru manalagi yang enak buahnya, banyak buahnya, dan tahan penyakit, di sini nampak bahwa ilmuwan mencoba menemukan keteraturan esensial pada benda organik. Produk teknologi merupakan produk kombinasi antara pemahaman ilmuwan tentang keteraturan esensial yang determinate dengan upaya rekayasa kreatif manusia mengikuti hukum keteraturan sunnatullah (Muhadjir, 2001: 43).

4.  Konstruk Teori Model Korespondensi

Konstruk berfikir korespondensi adalah bahwa kebenaran sesuatu dibuktikan dengan cara menemukan relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan korespondensi tersebut beragam mulai dari korelasi, kausal, konstributif, sampai mutual. Konstruk berfikir statistik kuantitatif dan juga pendekatan positifistik menggunakan cara ini (Muhadjir, 2001: 52).

Menurut Bertand Russel suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu, misalnya, jika ada seseorang yang mengatakan “Ibukota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab pernyataan itu sesuai dengan fakta objektif (Bakhtiar, 1997: 33).

5.  Konstruk Teori Model Koherensi

Konstruk teori model koherensi merentang dari koheren dalam makana rasional sampai dalam makna moral. Konstruk kohren dalam makna rasional adalah kesesuaian sesuatu dengan skema rasional tertentu, termasuk juga kesesuaian sesuatu dengan kebenaran objektif raional.

Aristoteles dalam teori koherensi memberikan standar kebenaran dengan cara dedukatif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada kriteria koherensi yang dapat diungkap. Bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten denga pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap benar bahwa “ Semua manusia pasti mati” adalah pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “Si Fulan adalah seorang manusia dan si Fulan pasti mati” adalah benar pula. sebab pernyataan ke dua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama (Bakhtiar, 1997: 32).

6.  Konstruk Teori Model Pragmatis

Konstruk teori pragmatis berupaya menkonstruk teorinya dari konsep- konsep, pernyataan-pernyataan yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak; artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau inflikasinya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Kaum prakmatis berpaling pada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggap fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Agama bisa dianggap benar karena memberikan ketenangan pada jiwa dan ketertiban dalam masyarakat. Para ilmuwan yang menganut asas ini tetap menggunakan suatu teori tertentu selama teori itu mendatangkan manfaat (Bakhtiar, 1997: 34).

7.  Konstruk Teori Iluminasi

Teori Iluminasi menurut Mehdi Ha’iri Yasdi adalah pengetahuan yang semua hubungannya berada dipandang dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan ekterior. Artinya hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobjek tanpa campur tyangan koneksi dengan objek eksternal (Bakhtiar, 1997: 35-36).

Selanjutnya Iluminasi oleh Yasdi disebut sebagai ilmu hudhuri yaitu pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan neotik dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuan swaobjek. Ilmu hudhuri tidak memiliki objek di luar dirinya, tetapi objek itu sendiri ada adalah objek subjektif ada pada dirinya. Oleh sebagian sufi, iluminasi itu adalah pengetahuan diri tentang diri yang berasal dari penyinaran dan anugerah Tuhan yang digambarkan dengan berbagai ungkapan dan keadaan. Ada yang menyebutkannya dengan terbukanya hijab antara dirinya dengan Tuhan, sehingga pengetahuan dan rahasianya dapat diketahui. Ada yang mengungkapkan dengan rasa cinta yang sangat dalam sehingga antara dia dan Tuhan tidak ada rahasia lain. Pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan-Nya. Dan ada yang menyatakan dengan kesatuan kesadaran (ittihad/hulul) (Bakhtiar, 1997: 37).


BAB IV
DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU

Ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Telaah kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaah ketiga ialah dari segi aksiologi yaitu terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.

Berikut ini digambarkan batasan ruang lingkup atau bidang garapan tahapan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi.

 

A.   Ontologi

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis yang terkenal diantaranya Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum mampu membedakan antara penampakan dengan kenyataan.

1.  Pengertian Ontologi

Menurut Bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu on / ontos = being atau ada, dan logos = logic atau ilmu. Jadi, ontologi bisa diartikan: The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan), atau Ilmu tentang yang ada

Pengertian menurut Istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani (kongkret) maupun rohani (abstrak).

Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun1636 M untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangan selanjutnya Christian Wolf (1679-1754 M) membagi Metafisika menjadi 2 yaitu: (1) Metafisika Umum yang disebut sebagai ontologi. Jadi metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada; dan (2)


Metafisika Khusus, terdiri dari kosmologi, psikologi, teologi.

2.  Aliran-aliran dalam Ontologi

Dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok/aliran-aliran pemikiran antara lain: Monoisme, Dualisme, Pluralisme, Nihilisme, dan Agnotisisme.

a.  Monoisme

Monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua, baik yang asal berupa materi ataupun rohani. Paham ini kemudian terbagi kedalam dua aliran: (1) Materialisme, dan (2) idealisme.

Aliran materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Aliran ini sering juga disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa /ruh tidak berdiri sendiri. Tokoh aliran ini adalah Anaximander (585-525 SM). Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Dari segi dimensinya, paham ini sering dikaitkan dengan teori atomisme, bahwa semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari itulah yang dinamakan atom-atom. Tokoh aliran ini adalah Demokritos (460-370 SM). Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang merupkan asal kejadian alam.

Idealisme diambil dari kata idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idelisme sebagai lawan materialisme, dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serbacita, spiritualisme berarti serba ruh. Aliran idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.

Tokoh aliran idealisme diantaranya:

1)     Plato (428 -348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari setiap sesuatu.

2)     Aristoteles (384-322 SM), memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda- benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu.

3)     Pada Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.

4)     Kemudian Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770- 1831 M), dan Schelling (1775-1854 M).

b.  Dualisme

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari 2 macam hakikat sebagai asal sumbernya yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.


Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).

Tokoh yang lain : Benedictus De spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646-1716 M).

c.  Pluralisme

Paham pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Lebih jauh lagi paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur.

Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.

Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M) yang terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Apa yang kita anggap benar sebelumnya dapat dikoreksi/diubah oleh pengalaman berikutnya.

d.  Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Doktrin tentang nihilisme sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, tokohnya yaitu Gorgias (483-360 SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu:

Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis

Kedua, bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui

Ketiga, sekalipun realits itu dapat kita ketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.

Tokoh modern aliran ini diantaranya: IvanTurgeniev (1862 M) dari Rusia dan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), ia dIlahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga pendeta.

e.  Agnotisisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu Agnostos yang berarti unknown A artinya not Gno (know).

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti:

a.    Soren Kierkegaar (1813-1855 M), yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme

b.    Martin Heidegger (1889-1976 M) seorang filosof Jerman

c.    Jean Paul Sartre (1905-1980 M), seorang filosof dan sastrawan Prancis yang atheis


B.   Epistemologi

Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.

Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga- tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Ketika kita membicarakan epistemologi, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.

1.  Pengertian Epistemologi

Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).

Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.

Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:

a.    Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?

b.   Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?

c.    Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003: 32).

Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (S.Sahakian &

L. Sahakian, 1965, dalam Suriasumantri, 1999).

Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu. Sedangkan, Hardono Hadi (1996) menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian- pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.

Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas diungkapkan Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.

2.  Ruang Lingkup Epistemologi

Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.

Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.

Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi.

3.  Objek Dan Tujuan Epistemologi

Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-yang-ada).

Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.

Tujuan epistemologi menurut Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.

4.  Landasan Epistemologi

Kholil Yasin menyebut pengetahuan dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari- hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan- sebutan tersebut hanyalah pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.

Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.


5.  Hubungan Epistemologi, Metode dan Metodologi

Lebih jauh lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual terhadap prosedur tersebut. Implikasinya, dalam metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan metode.

Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme, sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah epistemologi.

Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi merupakan bagian dari filsafat.


6.  Hakikat Epsitemologi

Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat. Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam kajian psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.

Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas- aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.

Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C.Hunt yang menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita.

Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui.

Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama, baruk ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu justru merugikan.

Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional, sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi, sedangkan usah membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.

Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan dari epistemologi yang sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya, karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali, sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara berkesinambungan dan serius.

7.  Pengaruh Epistemologi

Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.

Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya.

 

C. Aksiologi

1.  Pengertian Aksiologi

Berikut beberapa pendapat tentang pengertian Aksiologi:

Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani Axios (layak, pantas) dan Logos (Ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.

Jujun S.Suriasumantri (1999) mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai


suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam (Rakhmat, 2010)

Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.


2.  Penilaian Aksiologi

Bramel (dalam Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.

Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.

Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar, 2006), nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar- benar ada (Irmayanti Budianto, dalam Bakhtiar, 2006).

Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan social politik yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik.

3.  Apa Manfaat Dari Ilmu?

Bila ditanya manfaat dari ilmu, jawabannya adalah sudah tidak terhitung banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg, ilmu terus berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan ilmu manusia bisa sampai ke bulan, dengan ilmu manusia dapat mengetahui bagian-bagian tersembunyi dan terkecil dari sel tubuh manusia. Ilmu telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban manusia, tapi dengan ilmu juga manusia dapat menghancurkan peradaban manusia yang lain.

Mengutip pendapatnya   Francis   Bacon   (Suriasumantri,   1999)   yang


mengatakan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu akan merupakan berkat atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu terletak pada system nilai dari orang yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Selanjutnya Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.

Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskan kedalam empat tahapan yaitu:

a.    Untuk apa ilmu tersebut digunakan?

b.   Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?

c.    Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?

d.   Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral dan profesional?

Dari apa yang dirumuskan di atas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, seluruhnya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malah menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.

Setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.

Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga- tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran.

Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan. 


BAB V  
PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN TEORI

A.   Ilmplementasi Filsafat Ilmu dalam Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebenarnya merupakan langkah-langkah sistematis yang menjamin diperoleh pengetahuan yang mempunyai karakteristik rasional dan empiris. Secara filosofis kedua pendekatan tersebut mempunyai landasan yang berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat positivistik. Filsafat positivistik berpandangan bahwa gejala alam dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Proses penelitian dimulai dari proses yang bersifat deduktif, artinya ketika menghadapi masalah langkah pertama yang dilakukan adalah mencari jawaban secara rasional teoretis melalui kajian pustaka untuk penyusunan kerangka berpikir. Bagi penelitian yang memerlukan hipotesis, kerangka berpikir digunakan sebagai dasar untuk menyusun hipotesis. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan menganalisis data. Tujuan utama langkah ini adalah untuk menguji secara empiris hipotesis yang disusun atau mencari jawaban empiris sebagai jawaban final dari masalah penelitian. Secara operasional langkah-langkah penelitian kuantitatif sebagai berikut:

-   Rumusan masalah

-   Landasan teori, kajian teori, landasan pustaka, atau kajian pustaka.

-   Perumusan hipotesis

-   Pengumpulan data

-  Analisis data

-   Simpulan

Rumusan masalah dalam suatu penelitian diangkat dari hasil pengamatan atau dengan kata lain rumusan masalah penelitian berasal dari masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, ketika masalah ini dapat teratasi melalui penelitian maka secara langsung hasil penelitian ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Jadi cara pemilihan masalah yang diangkat dari hasil pengamatan ini sebenarnya merupakan pelaksanaan dari teori kebenaran pragmatisme. (teori kebenaran pragmatisme telah dibahas sebelumnya pada bab iii).

Langkah pertama yang ditempuh dalam rangka mencari jawaban terhadap masalah penelitian adalah mengkaji teori-teori dan hasil penelitian yang telah relevan. Secara fungsional kajian teori bertujuan memperjelas masalah penelitian, sebagai dasar menyusun kerangka berpikir dan hipotesis, serta sebagai rujukan dalam menyusun instrumen. Bagi penelitian yang menggunakan hipotesis, biasanya kajian teori terdiri atas 4 sub bab, yaitu: deskripsi teori, hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis. Deskripsi teori mengkaji teori-teori yang terkait dengan masing-masing variabel penelitian. Pada bagian ini peneliti belum


menghubungkan variabel satu dengan variabel yang lain, tetapi dalam mengkaji teori harus sudah diarahkan agar nanti dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kerangka berpikir. Pada penelitian kuantitatif, mengkaji hasil penelitian yang relevan merupakan suatu anjuran, artinya bukan merupakan keharusan. Di samping untuk memperjelas masalah penelitian, kajian terhadap hasil penelitian yang relevan juga bertujuan agar tidak terjadi penelitian replikatif. Memang penelitian replikatif tidak dilarang dengan syarat mempunyai dasar dan tujuan yang jelas.

Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang hubungan beberapa variabel yang ada dalam suatu penelitian. Kerangka berpikir yang baik dapat menjelaskan secara rasional hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Kalau dalam penelitian tersebut ada variabel moderator atau variabel intervening maka juga harus dijelaskan keterlibatan variabel tersebut dalam penelitian. Berdasarkan uraian rasional pada kerangka berpikir ini kemudian disimpulkan dalam bentuk kalimat pernyataan yang menghubungkan antar variabel dalam penelitian. Simpulan dari kajian teori ini disebut dengan hipotesis. Kalau dikaitkan dengan filsafat ilmu, kajian teori merupakan implementasi dari penggunaan teori kebenaran koherensi dalam penelitian.

Langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis berdasarkan data empiris. Syarat untuk dapat menguji hipotesis dengan benar ada 2, yaitu: memperoleh data yang valid dan menggunakan teknik analisis yang tepat. Untuk memperoleh data yang valid perlu desain penelitian yang tepat dan instrumen yang valid dan reliabel. Simpulan penelitian didasarkan pada hasil uji empiris. Apabila hasil uji empiris tidak sesuai dengan hipotesis bukan berarti penelitian tersebut gagal. Kalau hal ini terjadi, tugas peneliti adalah mengkaji secara teoretis tentang berbagai kemungkinan yang menyebabkan ketidaksesuaian antara teori dengan bukti empiris. Secara filosofis semua langkah yang ditempuh dalam rangka mengumpulkan, menganalisis data, dan menarik simpulan berdasarkan data empiris merupakan implementasi teori kebenaran korespondensi dalam penelitian.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat postpositivisme. Filsafat postpositivisme atau yang sering disebut dengan paradigma interpretif dan konstruktif berpendapat bahwa realitas sosial bersifat holistik, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan antar gejala bersifat reciprocal. Penelitian kualitatif dilakukan pada objek yang alami, tidak dimanipulasi oleh peneliti, dan kehadiran peneliti diupayakan tidak mempengaruhi dinamika objek yang diteliti.

Prosedur penelitian kualitatif juga diawali dari masalah, namun ada perbedaan sifat masalah pada penelitian kuantitatif dan kualitatif. Masalah pada penelitian kuantitatif bersifat pasti, jelas, dan spesifik. Sedang masalah pada penelitian kualitatif bersifat global, sementara, dan tentatif. Karena itu, masalah pada penelitian kualitatif dapat berkembang atau bahkan berubah setelah peneliti berada di lapangan. Di sini menunjukkan bahwa masalah penelitian kualitatif harus berdasarkan fakta atau pengamatan.

Langkah pertama setelah peneliti berada di lapangan dalam rangka pengumpulan data adalah menentukan fokus penelitian. Karena masalah penelitian


masih bersifat global maka perlu adanya pembatasan masalah yang dalam penenlitian kualitatif disebut dengan fokus penelitian. Penentuan fokus penelitian ini dilakukan dengan menganalisis masalah dan medan ketika peneliti sudah berada di lapangan. Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan fokus penelitian ada 3 hal, yaitu: tingkat kepentingan, urgensi, dan kelayakan suatu masalah (Sugiyono, 2010: 286). Suatu masalah dikatakan penting apabila masalah tersebut tidak dipecahkan atau dikaji secara ilmiah akan semakin besar dampaknya dalam kehidupan sosial dan/atau menimbulkan masalah baru. Masalah dikategorikan urgen (penting) apabila masalah tersebut tidak segera dikaji atau dipecahkan secara ilmiah masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk mengatasi masalah tersebut. Suatu masalah dikatakan layak untuk dikaji (feasible) apabila tersedia sumber daya dan dana untuk mengatasi masalah tersebut. Karena belum ke lapangan, maka dalam menilai proposal penelitian kualitatif, penentuan fokus lebih didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari hasil penelitian tersebut.

Sesuai dengan sifat masalah penelitian yang masih tentatif maka teori yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun proposal penelitian kualitatif juga bersifat sementara. Teori yang sifatnya sementara ini akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti selalu bergerak dari teori ke gejala, dari gejala ke teori. Proses reciprocalitas teori – fakta ini terus berlangsung sampai masalah dapat dipecahkan secara rasional dan tidak ditemukan lagi informasi yang sifatnya baru.

Dalam kaitannya dengan teori, penelitian kuantitatif dan kualitatif mempunyai perbedaan. Penelitian kuantitatif bersifat menguji teori atau hipotesis (confirmatory), sedang penelitian kualitatif berupaya menemukan teori (eksploratory). Tujuan akhir proses reciprocal antara teori fakta adalah ditemukannya teori yang dapat menjelaskan fakta. Karena itu, peneliti kualitatif disyaratkan mempunyai banyak teori yang dapat menjelaskan gejala yang dihadapi di lapangan. Namun dalam memahami fakta di lapangan, penelitian kualitatif menggunakan perspektif “emic”, menangkap fakta berdasarkan pemahaman partisipan dan informan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa implementasi teori koherensi dan korespondensi pada penelitian kualitatif bersifat reciprocal. Prespektif “emic” yang digunakan peneliti kualitatif jelas menunjukkan bahwa teori kebenaran yang digunakan adalah korespondensi. Kebenaran sesungguhnya adalah apa yang ada pada fakta, bahkan pada penelitian kualitatif fakta yang dimaksud bukan fakta berdasarkan pemahaman peneliti tetapi fakta berdasarkan pemahaman partisipan atau informan. Ketika peneliti mengkaji fakta berdasarkan teori yang telah ada maka proses ini merupakan implementasi teori koherensi dalam penelitian kualitatif.

 

B.   Etika dalam Pengembangan Ilmu dan Teknologi

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayan universal yang dihasilkan manusia yakni sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem


peralatan hidup. Dalam penerapannya, ilmu pengetahuan secara otomatis menghasilkan apa yang disebut teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, maka kita pun mengenal istilah IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Ilmu pengetahuan bersifat teoretis dan tidak berbentuk sedangkan teknologi bersifat praktis dan berbentuk. Pada hakikatnya,ilmu pengetahuan dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia di bumi. Teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan-kesulitan hidupnya yang sarat dengan keterbatasan. Apa yang tadinya dikerjakan oleh tangan manusia telah digantikan oleh mesin sehingga lebih efektif dan efisien.

Sebagai sebuah entitas pada dasarnya ilmu pengetahuan bersifat independen (bebas dari nilai), tetapi di sisi lain sebagai instrumen (alat dan proses) keberadaannya koheren, tergantung, dan diarahkan. Siapa yang mengarahkan? jawabannya tidak lain adalah manusia sendiri sebagai subyek ilmu pengetahuan itu sendiri. Etika memang bukan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat memerlukan adanya dimensi etis sebagai alat kontrol bagi pengembangan iptek agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawan kepada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.Adanya tanggung jawab etis tidak dimksudkan untuk menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi dengan adanya tanggung jawab etis diharapkan mampu menjadi inspirasi dan motivasi bagi manusia untuk mengembangkan teknologi yang nantinya akan mengangkat kodrat dan martabat manusia .

Pada hakikatnya ilmu itu mempunyai nilai netral (nol), dengan memahami bahwa ilmu itu netral maka ilmu pengetahuan bisa berkembang. Sehingga tidak tercampuri dengan suatu hal yang dapat menjadikan ilmu atau itu sendiri menjadi terhambat dalam perkembangannya.

Sedangkan netral itu sendiri ada berbagai pandangan yang pertama dalam pandangan Ontologi, yakni masalah atau hakikat netral itu sendiri. Yang mempunyai ruang lingkup tentang baik buruknya ilmu yang telah ada.

Kemudian dalam pandangan secara Epistimologi yaitu masalah bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan untuk mendapatkannya apakah sesuai atau malah menyimpang dari metode ilmiah. Ketika seorang ahli jantung ingin meneliti tentang jantung manusia. Ada suatu kendala apabila Dokter ini meneliti jantung selain jantung manusia seperti jantung simpanse misalnya, tentu hasilnya berbeda apabila dokter itu menggunakan jantung manusia itu. Tetapi masalahnya ada beberapa yang tidak menyetujui hal ini, dikarenakan telah keluar dari rasa kemanusiaan. Padahal tujuan awal agar data yang diperoleh valid dan lengkap, tetapi mereka salah memandang hal tersebut.

Sedangkan yang terakhir adalah netralisasi dalam pandangan Aksiologi. ini menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu itu sendiri. Seperti suatu hal yang sangat disesalkan oleh Albert Einsten, karena penemuannya  tentang nuklir. Ternyata manusia sebagai pengkonsumsi dari hasil temuan ilmu itu telah menyimpang atau menyalahi aturan yang ada. Padahal Einsten meneliti nuklir bukan karena dia ingin menggunakannya sebagai bom dan membunuh jutaan manusia, tetapi sebaliknya yaitu untuk kemaslahatan manusia sendiri. Tetapi manusia sendirilah sebagai pengguna yang telah salah menggunakan hasil pikiran Einstein itu.

Dampak buruk perkembangan sains dan teknologi sering dijadikan legitimasi bahwa ilmu pengetahuan atau sains tidak netral. Ada yang rancu di sini. Antara sains dan dampak dari sains. Dampak dari sains (dan teknologi) sudah melibatkan penggunanya (manusia) yang di luar lingkup kajian sains alami. Dalam hal ini, sistem nilai bukan berpengaruh pada sains, tetapi pada perilaku manusia penggunanya. Ilmu itu ibarat pisau. Netral. Tidak ada spesifikasi pisau Islam, pisau Kristen, pisau kapitalis, pisau komunis, pisau tukang sayur atau pisau tukang daging. Dampak pisau bisa negatif bila digunakan untuk merusak atau membunuh. Tetapi bisa juga positif.

Misalnya contoh lain, dewasa ini, ilmu pengetahuan dihadapkan pada masalah kerusakan lapisan ozon. Satelit mendeteksi lapisan ozon di atas antartika yang menipis yang dikenal sebagai lubang ozon. Sains mengkaji sebab-sebabnya. Ada sebab kosmogenik (bersumber dari alam), antara lain variasi akibat aktivitas matahari. Ada sebab antropogenik (bersumber dari aktivitas manusia). Sains juga akhirnya menemukan sumber antropogenik itu salah satunya CFC (Chlor Fluoro Carbon) atau freon yang banyak digunakan sebagai media pendingin kulkas dan AC (air conditioner). Kini sains menemukan bahan alternatif yang tidak merusak ozon.

Dapatkah ilmu pengetahuan dipersalahkan dan dijuluki sains yang perusak? Karena keterbatasan ilmu manusia, tidak semua dampak dapat diperkirakan. Ketika kini diketahui dampak buruknya, tidaklah adil untuk melemparkan tuduhan bahwa ilmu pengetahuan bersifat merusak.

Menjadi jelas bahwa pada dasarnya nilai sains atau ilmu itu netral. Maksud dari netral itu adalah ilmu tidak bernilai baik atau buruk tetapi ilmu itu di antara keduanya. Sesuai manusia yang membawa ilmu itu. Bagaimanakah menggunakannya? Untuk apa ilmu itu? Siapa yang memakai ilmu itu? Semua pertanyaan itu salah satu bukti kenetralan ilmu. Karena terserah manusia itu membawa ilmu itu sendiri, terserah manusia itu bagaimana menggunakannya, dan untuk apa ilmu yang dia dapat, dan siapapun orangnya ilmu tidak terpengaruh nilainya tetap netral (nol).

Karena posisi ilmu pengetahuan yang netral, maka tugas para ilmuwan adalah membangun sikap ilmiah yang berwawasan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan perindustrian dalam batasan nilai-nilai etis, serta mendorong perilaku adil dan membentuk moral tanggung jawab. Ilmu pengetahuan dan teknologi dipertanggung jawabkan bukan untuk kepentingan manusia, namun juga untuk kepentingan obyek alam sebagai sumber kehidupan.

Ilmuwan harus sadar dan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading”, yakni hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengkaitkan dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Kenyataan sesungguhnya bahwa setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga ilmu yang dihasilkan berdaya guna maksimal tanpa disertai sifat merusak demi kepentingan sesaat.

Akhirnya pemahaman terhadap netralitas ilmu harus sampai pada titik simpul bahwa dalam proses mengetahui, ilmu berkembang tidak dari ruang kosong. Dalam istilah Herman Soewardi (1999) disebut teori Adab-Karsa. Yaitu ilmuwan harus “memihak”. Memihak pada nilai kebenaran dan keadilan, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang beradab, yang tidak merusak apa yang diciptakan Tuhan untuk dirinya dan manusia pada umumnya (sejalan dengan Persaudaraan). Jangan sampai ilmu pengetahuan dilandasi jiwa ammarah, hanya sebagai alat pelampiasan nafsu, mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, yang akhirnya mencelakakan dirinya, manusia lain dan lingkungan.


 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adib, Mohammad. (2010). Filsafat Ilmu: ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azim, Ali Abdul. (1989). Falsafah al-Ma’rifah fi al-Qur’an al-Karim diterjemahkan oleh Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim dengan judul: Epistimologi dan Aksiologi Ilmu Persfektif al-Qur’an. Jakarta: Rosda Bandung.

Bagus, Lorens, (2005) Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama 1, Jilid I. Cet. I; Pamulung Timur, Ciputat: Lolos

Wacana Ilmu, 1997.

Bakhtiar, Amsal (2006) Filsafat Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Bakker, Anton. (1986). Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Bertens, K. (1990). Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia.

Bertens, K. (1988). Panorama Filsafat Barat. Jakarta: Gramedia.

Bertens, K. (1995). Ringkasan Sejarah Filsafat. (Edisi Revisi. Cet. XIII; Yogyakarta: Kanisius.

Capra, Fritjop, (1998), Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan .Kebudayaan, Terjemahan M. Thoyibi, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Chalmers. A.F. (1983). What is this Thing Called. Diterjemahkan oleh Tim Hasta Mitra dengan judul: Apa Itu Ilmu, Jakarta: Hasta Mitra.

Drajat, Amroeni. (2006). Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Jakarta: Erlangga. Fakhri, Majid. (2006). A History of Islamic Philosophy diterjemahkan oleh R. Mulyadi

Kertanegara dengan judul: Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya.

Gazalba, Sidi. (1973). Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.

Gemon, Howard A. & Craver, Samuel M. (1995). Philosophical Foundations of Education, ed 5. New Jersey: Merill Publishing Company.

Gie, The Liang. (1997), Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

Hadi, Hardono., Jatidiri Manusia; Berdasar Filsafat Empirisme Whitehead,

Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Hadiwijono, Harun. (1992). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hamersma, Harry. (1990). Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Hanafi, Ahmad. (1991). Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hart, Michael H. (1993). The 100 A Rangking of the Most Influential Persons in History. Diterjemahkan oleh Mahbub Junaidi dengan judul: Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hoodboy, Pervez. (1996). Islam and Sceinces, Religious Orthodoxy and the Battle


for Rationality diterjemahkan oleh Sari Meutia dengan judul: Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas: Antara Sains dan Ortodok Islam. Bandung: Mizan.

Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, Materi Kuliah, Bandung (Terbitan Khusus). Jalaluddin dan Abdullah Idi, (1997) Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media

Pratama.

Janik, Allan & Toulmin, Stephen. (1973). Wettegnstein’s Winna. New York: Simon & Schuster.

Kattsof, Louis O. (1989). Elements of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul: Pengantar Filsafat, Cet. IV; Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kuhn, Thomas S, (2000), The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Terjemahan Tjun Surjaman, Bandung: Rosda).

Little, John. (1996). Theories of Human Communication. Ohio: Charles E. Merril Company.

Losee, John. (2001). A Historical Introduction to the Philosophy of Science, New York: Oxford University.

Melsen, A.G.M. Van. (1992). Wetenschap en Verantwoordelijkheid, diterjemahkan oleh K. Bertens dengan judul: Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Muhadjir, Noeng. (2001). Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Nasr, Sayyed Hossen. (1985). Why Was al-Farabi Called the Second Teacher dalam

Islamic Culture, 59/4. Tt: Tp.

Nasution, Harun. (1992). Falsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Preus, Anthony. (2007). Historical Dictionary of Ancient Greek Philosophy.

Lanham, Maryland, Toronto, Plymouth: The Scarecrow Press, Inc.

Popper, Karl. (2000). Realism and The Aim of Science. London: Routledge. Rakhmat, Cece. (2010). Membidik Filsafat Ilmu. Modul Kuliah Filsafat Ilmu SPS

UPI Bandung.

Rosenberg, Alex. (2010). Philosophy of Science A contemporary Iintroduction.

New york: Routledge.

Russel, Bertrand. (1961). History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times ti the Present Days. London: George Allen & Unwin Ltd.

Salam, Burhanuddin. (2000). Sejarah filsafat ilmu dan teknologi. Bandung: Rineka Cipta.

Salam, Burhanuddin. (1988). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bina Aksara.

Shah, A.B. (1986). Scientific Method diterjemahkan oleh Hasan Basari dengan judul: Metodologi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Yayasan Obor.


 

Sharif. M.M. (1962). History of Muslim Philossophy. Weisbaden: Tp.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dn R&D, Cet. III; Bandung: Alfabeta.

Suriasumantri, Jujun, S. (1999). Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Supple, Frederick. (1974). The Sturucture of Scientific Teories, Urbana: University of Illionis Press.

Susanto. (2011). Filsafat Ilmu (Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis ). Jakarta: Bumi Aksara.

Syadali, Ahmad & Mudzakir. (1997). Filsafat Umum, Bandung; Pustaka Setia. Tafsir, Ahmad. (1990). Filsafat Umum, pengantar Filsafat, akal dan hati sejak

Thales sampai Capra. Bandung: Rosdakarya.

Tim Redaksi Driya karya (1993). Hakikat Ilmu Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Titus, Harold H. et al. (1984). The Living Issues of Philosophy, diterjemahkan oleh H.M.Rasyidi dengan judul: Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.

Velasquez, Manuel. (1996). Philosophy; A Text With Reading. Yogyakarta: Kanisius.

Verhaak, C., dkk. (1995). FIlsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.

Verhaak C. & Imam, R. Haryono. (1991). Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu. Cet. II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Veursen, Van. (1985). De Ovbouw van de Wetenschap een inleiding in de Wetenschapsleer. Diterjemahkan oleh J.Drost dengan judul: Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: Gramedia.

Wattimena, Reza A.A. (2008). Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Grasindo.

Zubair, Ahmad Charis. (2002). Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia;Kajian Filsafat Ilmu, Yogyakarta: LESFI.


Komentar

Postingan Populer